Menumbuhkan Rasa Percaya Diri: Ikhtiar Mental, Spiritual dan Sosial

Oleh : Asep Firmansyah, M.Pd.
Dosen UIN Walisongo Semarang
Dalam kehidupan yang semakin kompleks, kemampuan percaya diri bukan hanya pelengkap kepribadian, melainkan kebutuhan dasar bagi siapa pun yang ingin bertahan dan berkembang. Percaya diri adalah keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri untuk berpikir, bersikap, dan bertindak secara tepat dalam berbagai situasi. Ia bukan bawaan lahir semata, tetapi bisa dibentuk melalui proses panjang yang melibatkan aspek mental, spiritual, dan sosial. Percaya diri dapat dipandang sebagai sikap positif yang mencerminkan penghargaan terhadap diri sebagai makhluk ciptaan Allah. Keyakinan terhadap potensi diri bukan bentuk kesombongan, melainkan bentuk pengakuan bahwa Allah telah menganugerahkan kemampuan yang tak boleh disia-siakan. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4). Ayat ini menjadi dasar spiritual bahwa setiap manusia, termasuk kita, memiliki nilai, martabat, dan potensi luar biasa dalam dirinya. Maka dari itu, menumbuhkan rasa percaya diri adalah bentuk syukur terhadap penciptaan dan karunia-Nya.
Hal pertama yang perlu kita lakukan dalam membangun percaya diri adalah dengan mensyukuri anugerah hidup yang telah Tuhan berikan kepada kita. Tidak ada satu pun manusia yang diciptakan secara sia-sia. Tuhan sudah membekali kita dengan berbagai potensi agar kita mampu mengarungi kehidupan ini. Bila potensi ini dikenali, digali, dan dikembangkan, ia dapat membuka jalan menuju pencapaian dan kesuksesan yang lebih besar.
Dalam hadis disebutkan: “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian dan jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi dari kalian, karena hal itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian.”(HR. Muslim). Rasa syukur melahirkan sikap optimis. Orang yang bersyukur tidak sibuk mengeluhkan kekurangan, tapi fokus pada potensi dan jalan perbaikan. Inilah fondasi pertama rasa percaya diri: menyadari bahwa kita bernilai di hadapan Allah dan memiliki karunia yang patut dijaga dan dikembangkan.
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun sering kali, kita terlalu larut menyoroti kekurangan hingga melupakan potensi terbaik yang ada dalam diri. Jangan sampai kekurangan kita menjadi penyebab terpendamnya kelebihan hebat yang kita miliki. Terkadang orang lebih cenderung memperhatikan kekurangannya, baik itu fisik, harta, keterampilan, pengetahuan, atau sifat pribadi. Hal ini dapat mengarah pada perasaan rendah diri, kecemasan, dan frustrasi.
Padahal ia memiliki potensi luar biasa yang bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan perubahan besar dan meraih prestasi gemilang. Fokus pada kekurangan dapat menimbulkan rasa rendah diri, sedangkan mengenali dan mengembangkan kelebihan melahirkan rasa percaya diri. Dalam psikologi Islam, ini dikenal dengan konsep husnuzan bin nafs (berbaik sangka kepada diri sendiri). Rasulullah saw. bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing terdapat kebaikan…” (HR. Muslim).
Kekuatan di sini bukan hanya fisik, tetapi juga mental, tekad, dan semangat hidup. Maka tugas kita adalah mengenali kekuatan kita, apakah itu kecerdasan, kreativitas, keterampilan komunikasi, keterampilan menulis, ketekunan, kepemimpinan, atau potensi lainnya–dan terus mengasahnya agar dapat berkembang secara optimal.
Manusia tidak ada yang sempurna. Kita memiliki kekurangan, begitu pula orang lain. Maka, jangan biarkan kekurangan yang dimiliki membuat kita terpuruk. Jadikanlah kekurangan kita sebagai bahan refleksi bahwa kita adalah makhluk-Nya yang tidak sempurna—jika itu merupakan kekurangan yang tidak dapat diubah—atau sebagai peluang untuk terus belajar dan mengembangkan diri—jika itu masih bisa diusahakan untuk diperbaiki. Kekurangan yang tak bisa diubah sebaiknya menjadi bahan refleksi agar kita tetap rendah hati, sementara kekurangan yang bisa diperbaiki adalah peluang untuk terus belajar dan tumbuh. Sikap ini juga dikenal dalam Islam sebagai ta’dzim li nafsih—menghormati diri sendiri, tetapi tetap menyadari batas dan potensi untuk memperbaiki diri. Imam Syafi’i pernah berkata: “Barangsiapa yang ingin sempurna, maka ia telah menuntut sesuatu yang mustahil. Cukuplah seseorang itu mulia dengan terus memperbaiki diri.”
Salah satu pembunuh kepercayaan diri paling umum di era media sosial adalah kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Kita mudah terjebak dalam ilusi pencapaian orang lain dan lupa bahwa kita punya jalan hidup masing-masing. Hal ini dapat memicu perasaan candala (insecure) atau merasa diri kurang berharga. Apresiasilah kelebihan orang lain dan afirmasilah diri kita bahwa kita juga memiliki potensi untuk maju dan berkembang. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (QS. An-Nisa: 32). Setiap orang memiliki rezeki, ujian, dan waktu yang berbeda. Fokuslah pada proses kita sendiri. Bandingkan diri kita hari ini dengan diri kita kemarin. Jika hari ini lebih baik, maka kita telah menang.
Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap rasa percaya diri. Teman yang suka mencela, meremehkan, atau menyebarkan energi negatif dapat menggerus keberanian dan semangat hidup kita. Sebaliknya, berada di tengah orang-orang yang suportif, jujur, dan menyemangati akan memperkuat mental dan keberanian kita untuk menghadapi tantangan. Melalui dukungan mereka, kita lebih mudah mengatasi rasa takut, khawatir, dan ragu dalam menghadapi situasi yang kurang baik, sehingga kita dapat mengembangkan sikap mental yang optimis dan percaya diri. Nabi Muhammad saw. bersabda: “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi…” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka dari itu, bijaklah dalam memilih lingkungan pergaulan.
Kualitas diri yang baik akan mempengaruhi rasa percaya diri kita dalam menghadapi berbagai situasi. Semakin kita meningkatkan kemampuan, pengetahuan, dan karakter, semakin siap kita untuk menghadapi tantangan dengan keyakinan dan ketenangan. Dengan kualitas diri yang terasah, kita merasa lebih mampu mengatasi rintangan, mengambil keputusan dengan bijak, dan menjalani kehidupan dengan optimis.
Percaya diri bukan berarti harus tampil sempurna atau selalu benar, melainkan tentang mengenali potensi diri, menerima kekurangan dengan lapang hati, dan berani melangkah maju. Sikap ini merupakan bentuk tanggung jawab atas amanah kehidupan yang telah Allah titipkan kepada kita. Dengan bersyukur, mengenali kelebihan, mengelola kekurangan, berhenti membandingkan diri, memilih lingkungan yang sehat, dan terus belajar—kita bisa menjadi pribadi yang mantap dan percaya diri, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk memberi manfaat bagi orang lain. Seperti pesan Imam Al-Ghazali: “Engkau bukanlah makhluk yang hina, tetapi engkau adalah makhluk yang dimuliakan Allah. Maka jangan hinakan dirimu dengan meremehkan potensi yang ada pada dirimu.” Mari tumbuhkan rasa percaya diri dengan niat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Sebab, dalam Islam, manusia terbaik adalah yang paling berguna bagi sesama.***