Opini

Trusmi dan Ironi Ekonomi Kreatif yang Gagal Ditata Serius

Trusmi , Ironi, Ekonomi, Kreatif ,Gagal, Ditata, Serius
Oleh: Hakim Baihaqi
Penulis Lepas Cirebon

Kawasan Batik Trusmi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ibarat permata yang terpendam dalam lumpur tata ruang amburadul. Ia bersinar karena warisan batiknya yang mendunia, tetapi redup oleh wajah lingkungan semrawut. Mimpi menjadikannya Malioboronya Cirebon telah berkumandang sejak lebih dari satu dekade lalu, namun realitas di lapangan justru menunjukkan stagnasi bahkan kemunduran.
Trusmi adalah wajah budaya Cirebon. Di sinilah motif Mega Mendung dilestarikan, diwariskan dari generasi ke generasi, dan dijual ke seluruh dunia. Namun sayang, keagungan warisan budaya itu seperti dikerdilkan oleh kebijakan yang parsial dan tak berkelanjutan.
Trotoarnya dikuasai pedagang kaki lima, kabel menjuntai serampangan, jalan berlubang dengan tambalan tak rapi, dan tidak ada sistem transportasi atau ruang terbuka publik yang bisa menunjang kawasan sebagai destinasi wisata unggulan. Inilah potret ironis dari sebuah kawasan budaya yang mestinya menjadi mercusuar peradaban lokal.
Perbandingan Trusmi dengan Malioboro bukanlah tanpa alasan. Keduanya adalah pusat kebudayaan berbasis batik dan industri kreatif rakyat. Namun bedanya, Malioboro telah berhasil melewati fase ketidakteraturan menuju integrasi budaya, pariwisata, dan tata kota.
Trotoar luas dengan pedestrianisasi, street furniture yang seragam, lampu kota estetik, hingga penataan pedagang kaki lima yang terorganisir menjadi bukti keseriusan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menjaga dan mengembangkan ikon kotanya.
Apakah Malioboro langsung menjadi seindah hari ini? Tidak. Transformasi kawasan itu membutuhkan waktu, visi jangka panjang, serta political will yang kuat. Pemerintah Kota Yogyakarta tidak hanya menertibkan, tetapi juga merangkul pelaku usaha informal sebagai bagian dari sistem.
Relokasi disertai pelatihan, bantuan modal, dan pendampingan. Ada semacam kesepahaman kalau kebudayaan tidak bisa tumbuh dalam ruang yang kumuh, dan kesejahteraan pelaku budaya adalah kunci pelestariannya.
Wacana penataan Kawasan Batik Trusmi sebetulnya bukan barang baru. Sejak 2012, bahkan mungkin sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Cirebon sudah menggaungkan rencana revitalisasi. Namun hingga 2025, wajah Trusmi nyaris tak berubah. Pembangunan trotoar dilakukan setengah hati, drainase tetap dangkal, ruang parkir liar masih merajalela. Penataan kabel, pemindahan PKL, atau sekadar pembenahan rambu lalu lintas pun seperti dibiarkan tergantung di udara—sama seperti kabel-kabel listrik yang menjalar seperti akar pohon mati.

Bupati Cirebon, Imron Rosyadi, mengakui kesulitan koordinasi antar dinas dan minimnya anggaran menjadi penghambat. Ia menyebut Dinas Perdagangan, PUTR Perhubungan, dan Satpol PP sering kali bekerja tanpa sinergi yang jelas. Alhasil, program penataan hanya hadir dalam bentuk seremoni dan retorika media, bukan dalam kebijakan yang nyata di lapangan.
Kendala klasik ini memperlihatkan lemahnya manajemen birokrasi dalam menangani kawasan strategis. Trusmi seharusnya tidak diperlakukan seperti wilayah biasa. Ia adalah episentrum budaya dan ekonomi lokal yang harus mendapat perhatian lintas sektoral dan lintas level pemerintahan.
Di sisi lain, upaya penataan kawasan Trusmi selalu berbenturan dengan keresahan para pedagang kaki lima. Mereka yang telah lama membuka lapak di trotoar atau pinggir jalan merasa terancam setiap kali mendengar kata “penertiban.” Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Relokasi sering kali berarti kehilangan pelanggan, biaya sewa toko yang tak terjangkau, dan hilangnya penghidupan.
Padahal, keberadaan mereka adalah denyut ekonomi kawasan. Namun di saat yang sama, posisi lapak mereka yang tak tertata menjadi penghambat utama penataan fisik. Maka muncullah dilema klasik: bagaimana menata kawasan tanpa mematikan mata pencaharian rakyat kecil?
Jawabannya bukan pada penggusuran, tetapi pemberdayaan. Pemerintah seharusnya mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dan partisipatif. PKL harus dilibatkan dalam proses perencanaan, bukan hanya diberi tahu hasil akhir.
Skema pemindahan harus disertai solusi: penyediaan kios dengan harga terjangkau, pelatihan usaha, sistem distribusi dagang, hingga bantuan promosi berbasis digital.
Sering kali, pemerintah hanya melihat Trusmi sebagai zona ekonomi. Padahal nilai sejatinya jauh lebih dalam. Batik Trusmi bukan sekadar kain bermotif, melainkan manifestasi dari nilai spiritualitas Islam yang diajarkan Ki Gede Trusmi, murid Sunan Gunung Jati. Ada doa, filosofi, dan nilai-nilai hidup yang dituangkan dalam setiap motif.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam beberapa kesempatan menekankan pentingnya menjadikan Cirebon sebagai kabupaten budaya. Ia mendorong pembentukan Perda Arsitektur Budaya Khas Cirebon, yang akan mengatur estetika bangunan, jalan, ruang publik, dan pola ruang berdasarkan nilai sejarah dan budaya lokal.
Usulan ini bukan sekadar ambisi politis, tapi kebutuhan fundamental. Tanpa regulasi yang mengikat dan berjangka panjang, penataan kawasan budaya seperti Trusmi akan terus menjadi tambal sulam. Bahkan bisa hilang identitasnya karena terus digerus komersialisasi tanpa arah.
Penataan kawasan tidak bisa lagi hanya dijadikan proyek fisik. Ia harus dilandasi narasi besar tentang masa depan kota. Jika Trusmi ingin disandingkan dengan Malioboro, maka langkah pertama adalah menyusun grand design tata ruang berbasis budaya.
Kini saatnya berhenti melempar wacana dan mulai menanam tindakan. Trusmi bukan hanya aset Cirebon, tapi warisan nasional. Membiarkannya dalam kondisi semrawut adalah bentuk pengabaian terhadap sejarah, budaya, dan masa depan ekonomi lokal.
Revitalisasi Trusmi membutuhkan komitmen lintas sektor, partisipasi warga, dan kepemimpinan yang berani mengambil risiko. Tidak cukup hanya dengan anggaran APBD tahunan, tetapi perlu skema pembiayaan kreatif, seperti public private partnership, dana CSR, atau crowdfunding budaya.
Jika pemerintah sungguh-sungguh menata Trusmi, bukan tidak mungkin kawasan ini akan menjadi episentrum budaya Indonesia seperti Malioboro atau bahkan lebih. Tapi jika dibiarkan terus dalam pusaran birokrasi dan ketidaktegasan, Trusmi hanya akan menjadi cerita tentang potensi yang gagal diwujudkan.
Karena sejatinya, membangun kawasan budaya bukan hanya soal membangun infrastruktur, tapi juga membangun kesadaran kalau sejarah, identitas, dan warisan nenek moyang adalah pondasi utama sebuah peradaban.***

Related Articles

Back to top button