Pendidikan Kebutuhan Primordial Manusia

Oleh: Imam Nur Suharno
Pendidik di Pesantren Husnul Khotimah Kuningan
Pendidikan merupakan kebutuhan primordial bagi manusia. Saking pentingnya, pendidikan menjadi bagian dari tujuan bangsa yang tertuang dalam Preambule UUD 45. Tanpa pendidikan, manusia tidak dapat belajar, tanpa belajar manusia tidak berilmu, dan tanpa ilmu manusia tidak tahu arah hidupnya. Manusia lahir di dunia ini tidak mengetahui dan tidak membawa apapun. Kemudian diberinya potensi berupa alat untuk berkomunikasi berupa pendengaran, penglihatan, hati dan akal agar manusia mampu mengenal dan mengetahui segala sesuatu (ilmu pengetahuan).
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16]: 78).
Ilmu agama merupakan pedoman hidup bagi setiap manusia. Dengan ilmu, seseorang mampu mengenal Rabbnya. Dengan ilmu pula, hati menjadi hidup. Kemudian, hidupnya hati membuahkan amalan kebaikan bagi seluruh angggota badan.
Mengapa hati itu hidup dengan ilmu? Karena ilmu ibarat air hujan, sedangkan hati itu sebagai bumi yang akan menampung air hujan tersebut. Hal ini sebagaimana perumpamaan yang disabdakan oleh Nabi SAW.
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ibnul Qayyim berkata bahwa kebutuhan orang pada ilmu agama seperti kebutuhan orang pada air hujan, bahkan ilmu itu lebih dibutuhkan. Karena apabila tidak memiliki ilmu sama halnya dengan tanah yang tidak pernah mendapati air hujan.
Rasulullah SAW membagi manusia berdasarkan pada penerimaan dan persiapan dalam menjaga ilmu, pemahaman maknanya, pengambilan hukumnya, dan penguraian hikmah dan faidahnya menjadi tiga kelompok.
Pertama, ahlul hifdzi wal fahmi (bisa menghafal dan memahami). Yakni manusia yang menjaga ilmu dan memahaminya, memahami maknanya, mengambil atau menetapkan hukum, hikmah dan manfaat darinya. Manusia ini seperti tanah yang mampu menyerap air, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan. Inilah pemahaman ilmu, pengetahuan, dan pengambilan hukum, yang kedudukannya seperti menumbuhkan tanaman dan rerumputan dengan air.
Kedua, ahlul hifdzi (hanya bisa menghafal). Yaitu penghafal yang dikaruniai hafalan ilmu, menyalinnya, dan mengoreksinya, tetapi tidak dikaruniai pemahaman dalam maknanya, tidak juga dalam pengambilan hukum, penguraian hikmah dan manfaat dari ilmu. Mereka ini seperti orang yang membaca Alquran, menghafalnya, memperhatikan hurufnya dan i’rabnya, tetapi tidak dikaruniai pemahaman khusus oleh Allah, sebagaimana dikatakan sahabat Ali bin Abi Thalib, ‘Kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada hamba-Nya dalam kitab-Nya.
“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Al-Jumu’ah [62]: 4).
Ketiga, alladziina laa nashiba lahum minhu (tidak bisa menghafal dan memahami). Yakni orang yang tidak mendapat bagian dari ilmu, tidak menghafal, tidak juga pemahaman. Mereka ibarat tanah tandus, tidak bisa menumbuhkan tanaman dan tidak bisa menampung air.
Bahwa dua kelompok manusia yang pertama itu sama-sama berilmu dan mengajarkan ilmu. Sedangkan kelompok manusia yang ketiga itu tidak berilmu dan tidak pula mengajarkan ilmu.
Hadits di atas juga mencakup penjelasan tentang kemuliaan ilmu dan mengajarkannya, keagungan kedudukannya dan kesengsaraan orang yang tidak menuntut ilmu. Hadits ini juga menyebutkan macam-macam manusia berdasarkan sengsara dan bahagianya.
Juga menunjukkan akan kebutuhan manusia terhadap ilmu seperti kebutuhan manusia terhadap air hujan. Jika manusia kehilangan akan ilmu, maka kedudukannya seperti tanah yang kehilangan air hujan.
Imam Ahmad berkata bahwa kebutuhan manusia terhadap ilmu itu lebih besar daripada kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman, karena makanan dan minuman dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, akan tetapi ilmu dibutuhkan manusia dalam setiap hembusan nafasnya.
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 17).
Bagi seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan ke-Islamannya tanpa memahami dan mengamalkannya. Pernyataannya itu harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Menuntut ilmu syar’i merupakan jalan menuju kebahagiaan abadi.
Seorang muslim wajib menuntut ilmu syar’i, mempelajari Alquran dan As-Sunnah. Jika seorang muslim selalu belajar, menuntut ilmu syar’i, memahaminya dengan pemahaman yang benar dan bimbingan para ulama, dan mengamalkan ilmu, mengamalkan sunnah Nabi SAW, menjauhkan perbuatan syirik dan maksiat, serta senantiasa berdoa agar diberikan ilmu yang bermanfaat, maka akan ditambahkan petunjuk kepadanya.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut [29]: 69).
Oleh karena itu, Rasulullah SAW mengajarkan doa kepada kita kaum Muslimin untuk dipraktekkan agar kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal, dan amal yang diterima.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
“Ya Allah, berilah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.” (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, keterjagaan, dan kecukupan.” (H.R. Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).
“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku berada di atas agama-Mu.” (H.R. Tirmidzi).
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan mengantarkan kepada kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Amin.***