Warga Mengeluh Jadi Peserta BPJS Kesehatan Jalur Mandiri

PBI Disoal, Warga Mengeluh Jadi Peserta BPJS Kesehatan Jalur Mandiri
kacenews.id-MAJALENGKA-Yani salah seorang peserta BPJS Kesehatan melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Kertajati, Majalengka kini terpaksa memilih jalur mandiri, dan tidak lagi mendaftarkan diri menjadi peserta PBI dengan alasan tidak mendapat kejelasan kapan aktifnya kembali jika melakukan registrasi ulang, sementara kartu BPJS Kesehatan akan dipergunakan untuk berobat.
Sebelumnya dia menjadi peserta BPJS Kesehatan PBI setelah mendaftarkan diri di Kantor Desa melalui aplikasi SIKS-NG (Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation) yang dikelola Kementrian Sosial. Aplikasi tersebut sebagai Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN)
Dia mengaku mengetahui BPJS nya tidak berlaku ketika akan berobat di sebuah Rumah Sakit, pihak petugas menolak dirinya menggunakan BPJS dengan alasan tidak aktif, akhirnya saat itu dia berobat dengan setatus pasien umum karena emergency.
“Waktu itu suami saya berusaha mengaktifkan kembali ke Dinas Sosial, tapi jawaban Dinsos tidak memberikan kejelasan kapan kartu BPJS akan aktif kembali karena harus menunggu dari Kementrian Sosial. Akhirnya sekarang memilih BPJS jalur mandiri,” ungkap Yani.
BPJS tersebut juga katanya hanya berlaku satu tahun dan setiap tahun harus diregistrasi ulang melalui Dinas Sosial setelah memasukan data melalui SIKS-NG.
Senada disampaikan Apep peserta BPJB PBI lainnya yang kini memilih jalur mandiri karena lama menunggu hasil perivikasi ulang dari Kementrian Sosial. Diapun menyebutkan mengetahui BPJS nya tidak berlaku ketika mendaftar sebagai peserta BPJS di Rumah Sakit saat istrinya akan memeriksakan kesehatan kandungan.
“Ketika meminta rujukan di dokter pribadi kartu tidak terdeteksi habis masa berlaku, ketahuannya ketika di Rumah Sakit saat mendaftar, kemudian pergi ke Kantor BPJS tapi petugas BPJS tidak bersedia menjelaskan dengan alasan itu bukan kwenangannya, dan disarankan untuk ke Dinsos sementara Dinsos juga menunggu dari Pusat,” ungkapnya.
Yang bingung menurut mereka iuran mandiri cukup berat setiap bulan mereka harus menyiapkan dana lumayan besar untuk membayar BPJS semua anggota keluarganya. Yani memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang, sedangkan Apep sebanyak tiga orang.
“Lumayan beban, tapi kalau tidak menjadi peserta BPJS repot juga saat berobat untuk kasus penyakit yang butuh biaya tinggi,” ungkap Apep yang istrinya sempat menjalani operasi dan persalinan.
Setelah terjadi kenaikan iuran BPJS Yani harus menyiapkan uang sebesar Rp 300.000 per bulan karena setiap orang iuran untuk kelas III masing–masing sebesar Rp 75.000. Pembayaran iuran BPJS nya sering terlambat karena penghasilan suaminya yang tidak menentu.
Apep juga harus menyiapkan uang sebesar Rp 300.000 per bulan untuk keluarganya karena iuran kelas II sebesar Rp 100.000 per bulan. “Sempat terlambat dan melakukan berobat akhirnya kena denda lumayan,” katanya.
Namun demikian mereka akhirnya memaksakan diri menjadi jalur mandiri dengan harapan kedepan mereka bisa masuk kembali menjadi peserta BPJS PBI .
Sementara itu pencoretan kesertaan BPJS diduga karena pihak pendamping desa yang berusaha melakuklan pembaharuan data para peserta.
Sementara itu salah seorang sarjana pendamping desa mengatakan, bahwa pendamping desa tidak melakukan pendataan ulang terhadap kepesertaan BPJS karena yang mengolah data adalah pihak BPS.
“Yang melalukan pendataan benar pendaming desa, tapi semua pertanyaan yang diajukana dibuat BPS, misalnya listrik berapa paket, penghasilan berapa, luas rumah, kloset kamar mandi seperti apa dan sebagainya, data yang kami lakukan itu diolah oleh BPS dan Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi). Jadi kalau sekarang BPJS dicoret jangan salahkan kami karena kami tidak mengolah data,” ungkap pendamping desa.
Dia menyebutkan, berdasarkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikirim Kementrian Sosial, nama – nama yang dicoret dari BPJS PBI tidak terdaftar di DTSEN. Itu kemungkinan menunjukan bahwa mereka status ekonominya telah naik dan yang melakukan sensus ekonomi adalah BPS.
“Yang dicoret itu tidak hanya Kabupaten Majalengka malah kabupaten kota lain peserta BPJS PBI yang dicoret jauh lebih tinggi dari Kabupaten Majalengka. Tertinggi Garut 201.230, disusul Sukabumi dan Kabupaten Bandung, itu data dari Kemensos ya,” ungkapnya.***