Bisnis Rumah Sakit

KONDISI yang menimpa RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon mencerminkan krisis laten dalam sistem layanan kesehatan publik di Indonesia, khususnya dalam hal keadilan dan etika persaingan.

Ketika rumah sakit milik pemerintah, yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi akses kesehatan rakyat kecil, terhimpit oleh 12 rumah sakit swasta dalam satu kawasan.
Maka, yang sedang dipertaruhkan bukan hanya keberlangsungan institusi, tapi juga nyawa warga miskin yang tak punya pilihan lain selain rumah sakit publik.
Fakta adanya praktik pemberian fee atau imbalan jasa kepada pengantar pasien oleh sejumlah rumah sakit swasta. memperparah keadaan. Meski tampak sebagai bentuk stimulus pasar, realitanya ini adalah jurus licik yang mencederai integritas profesi kesehatan dan membuka ruang bagi komersialisasi layanan yang seharusnya bersifat sosial.

Lebih mengkhawatirkan lagi, keterlibatan oknum perangkat desa dalam skema ini menunjukkan betapa sistem telah dinodai oleh kepentingan ekonomi mikro yang menjelma menjadi mafia rujukan pasien.

Pemerintah daerah tidak bisa lagi bersikap netral atau hanya menjadi pendengar aspirasi. Dibutuhkan keberpihakan nyata dalam bentuk regulasi yang melindungi rumah sakit daerah dari jeratan persaingan bisnis yang tidak sehat.

Apalagi, RSUD tidak memiliki keluwesan anggaran seperti rumah sakit swasta. Ketika tuntutan menghasilkan PAD terus digaungkan, tanpa diimbangi perlindungan dan afirmasi kebijakan, maka RSUD sedang diarahkan ke tepi jurang.

Dalam kondisi ini, membiarkan persaingan tak sehat adalah sama dengan membiarkan rumah sakit rakyat mati perlahan. Pemerintah Kabupaten Cirebon harus segera turun tangan, mengatur kembali tata ruang perizinan rumah sakit swasta, menyusun aturan ketat soal etika rujukan pasien, dan memberikan dukungan politik anggaran untuk memperkuat daya saing RSUD Arjawinangun.
Karena, kesehatan bukan hanya soal layanan medis, tapi juga komitmen negara menjaga hak dasar rakyatnya dari praktik pasar yang makin buas.***