CirebonRaya

Dihimpit 12 Rumah Sakit Swasta, RSUD Arjawinangun Terancam Gulung Tikar

kacenews.id-ARJAWINANGUN-Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arjawinangun Kabupaten Cirebon kini terus berupaya menjadi rumah sakit unggulan dan rujukan masyarakat. Namun, rumah sakit milik pemerintah daerah ini harus berjuang keras, pasalnya ada 12 rumah sakit swasta yang menghimpitnya.

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arjawinangun Kabupaten Cirebon, dr H Bambang Sumardi menyebut, persaingan bisnis rumah sakit di Kabupaten Cirebon khususnya di wilayah barat saat ini sudah tidak sehat. Apalagi, RSUD Arjawinangun saat ini dihimpit 12 rumah sakit swasta.

“Persaingannya sungguh ketat. Kita rumah sakit milik pemerintah daerah dihimpit 12 rumah sakit swasta,” kata dr Bambang.

Apalagi, kata Bambang, ada praktik pemberian fee atau imbalan jasa kepada pengantar pasien. Ia menjelaskan, berbeda dengan rumah sakit swasta, rumah sakit milik pemerintah daerah tidak segampang itu mengeluarkan fee atau imbalan jasa kepada pengantar pasien.

“Rumah sakit-rumah sakit swasta dengan mudah mengeluarkan itu (fee). Jelas, ini mematikan rumah sakit milik pemerintah daerah. Kalau kita melakukan seperti rumah sakit swasta, pasti kita ditegur sama auditor, Inspektorat dan lainnya,”katanya.

Bambang berharap praktik seperti ini harus ada ketegasan dari pemerintah Kabupaten Cirebon untuk membuatkan regulasi atau aturan yang tegas, untuk menyelamatkan rumah sakit milik pemerintah ini.

“Kami dituntut untuk menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan kondisinya begini. Tolong kami,” harapnya.

Ia menjelaskan, pertolongan dari pemerintah daerah adalah seperti membuat satu kebijakan yang berpihak ke rumah sakit milik pemerintah.

Menurut Bambang, kebijakan tersebut semisal ada rumah sakit umum yang akan dibangun di wilayah barat Kabupaten Cirebon harus ada penataan ulang.

“Jadi, jangan sampai lima menit sampai, lima menit rumah sakit (berdekatan), kecuali rumah sakit khusus, pemerintah enggak ikut campur,” kata Bambang.

Kemudian, lanjut Bambang, tidak memungkiri semua rumah sakit itu tujuannya satu, yaitu untuk memperebutkan kue BPJS. “Di sini persaingan begitu ketat. Persaingannya harusnya wajar, harusnya apple to apple, seimbang, sebanding, sekarang tuh tidak sebanding. Jadi kalau rumah sakit swasta dia punya jurus tertentu yang bisa menggoda masyarakat, kalau kita enggak boleh,” katanya.

Di tempat berbeda, salah seorang bidan yang enggan disebutkan namanya mengaku, ketika ia mengantarkan pasien ke rumah sakit milik pemerintah, maka ia tidak akan mendapatkan imbalan jasa atau fee apapun.

Namun, berbeda ketika ia mengantarkan pasien ke rumah sakit swasta, maka ia akan mendapatkan fee dari rumah sakit swasta tersebut.

“Kalau mengantarkan pasien hendak bersalin ke rumah sakit milik pemerintah itu tidak dapat fee, tapi kalau rumah sakit swasta, saya dapat fee. Lumayan lah, kalau di rumah sakit A dikasih Rp1 juta, dan kalau rumah sakit B dikasih Rp1,5 juta. Beda-beda tergantung manajemen rumah sakitnya,” ujarnya.

Bahkan bukan hanya profesi kesehatan saja yang mendapatkan fee atau imbalan jasa dari rumah sakit swasta, ternyata perangkat desa di Kabupaten Cirebon juga ikut menikmati fee atau imbalan jasa ketika mengantarkan pasien ke rumah sakit swasta.

“Kalau saya selaku perangkat desa ya kebanyakannya mengantarkan warga yang sakit ke IGD (rumah sakit swasta). Kami tidak ke rumah sakit milik pemda. Di rumah sakit swasta ada fee buat kami, hanya tidak besar. Sedangkan di rumah sakit milik pemda, kami tidak mendapatkan apa-apa,” kata salah seorang perangkat desa yang juga enggan disebutkan namanya.

Saat ditanya berapa besaran fee atau imbalan jasa dari rumah sakit swasta yang diterima, ia enggan membocorkannya kepada publik. “Pokoknya ada lah. Cukuplah buat pengganti rokok sama kopi,” ucapnya.

Seperti diketahui, praktik pemberian fee atau imbalan jasa kepada pengantar pasien, terutama di bidang kesehatan dapat berpotensi penyalahgunaan terhadap kepentingan dan akan berdampak terhadap biaya maupun akses pelayanan kesehatan.

Praktik semacam ini tidak sesuai dengan kode etik profesi dan bisa menjadi bentuk pungutan liar. Praktik semacam ini juga bisa menjadikan rumah sakit milik pemerintah daerah lambat laun akan gulung tikar.(Junaedi)

Pointer

-Fee atau komisi pengantar pasien diberikan kepada tenaga kesehatan (seperti bidan) dan perangkat desa yang membawa pasien ke rumah sakit swasta.

-Praktik ini mendorong pengalihan pasien dari RSUD ke rumah sakit swasta, bukan berdasarkan layanan atau kebutuhan medis, tapi karena imbalan.

-RSUD sebagai institusi milik pemerintah dibebani target PAD (Pendapatan Asli Daerah) namun tanpa dukungan regulasi untuk bersaing secara adil.
-Pemerintah daerah diminta membuat regulasi tegas untuk melindungi keberlangsungan rumah sakit pemerintah.

Pembangunan RS baru juga diminta untuk ditata ulang, agar tidak terjadi konsentrasi rumah sakit di satu wilayah yang mematikan rumah sakit daerah.
-Persaingan tidak apple to apple, karena RS swasta punya “jurus” (strategi agresif) yang tak bisa ditiru RSUD akibat batasan etis dan regulatif.
-Fenomena ini mengarah pada komersialisasi layanan kesehatan, yang berpotensi menciderai etika profesi medis dan kepentingan pasien.

Jika tidak ditangani, RSUD terancam kehilangan pasien dan gulung tikar, serta pelayanan publik kesehatan makin tersisih oleh motif bisnis.

Related Articles

Back to top button