Opini

Buku Sekolah Gratis Vs Nasib Penerbit

Oleh Maman, S.Pd., M.Pd
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Kadugede

Di penghujung tahun 2014 silam saya mendapatkan tawaran menulis buku teks Bahasa Indonesia Peminatan untuk Kelas XI SMA/MA dari PT Komodo Books, sebuah penerbit yang berdomisili di Kota Depok, Jawa Barat. Setelah berjuang siang malam untuk menulis buku tersebut, Alhamdulillah, buku itu lolos seleksi setelah dinilai secara ketat oleh Pusat Perbukuan dan Kurikulum Kemendiknas. Ternyata bukan hanya penerbit Komodo Books yang bukunya lolos seleksi, tapi juga beberapa penerbit besar seperti Airlangga Jakarta dan Tiga Serangkai Solo. Alhasil, penerbit-penerbit itu boleh mencetak dan mendistribusikan buku teks pelajaran ke tiap sekolah.
Namun, angin segar itu tiba-tiba redup. Belum sempat buku itu dicetak, apalagi didistribusikan, Pemerintah tiba-tiba mengubah kebijakan baru, yakni bahwa buku teks semua mata pelajaran akan digratiskan. Pemerintah akan merekrut penulis untuk menulis semua buku teks pelajaran, dan diterbitkan Pemerintah sendiri. Dan semua gratis. Pihak sekolah, lebih tepatnya guru, tinggal menggunakannya saja. Pemerintah sudah menyediakannya, baik dalam bentuk buku elektronik yang dapat diunduh siapa saja, maupun bentuk cetaknya yang dikirim dari Pusat. Maka sejak itu, tamatlah riwayat penerbit swasta untuk meraup keuntungan dari bisnis buku teks.
Praktis, semua buku pelajaran dari penerbit swasta, sudah tidak beredar lagi. Lebih tepatnya, tidak ada lagi penerbit swasta yang diperbolehkan menerbitkan buku teks utama semua mata pelajaran, dari tingkat SD, SMP, maupun SMA dan yang sederajat. Bahkan Pemerintah mewanti-wanti pada pihak sekolah; tidak boleh memperjualbelikan buku teks. Jangankan buku teks, LKS pun dilarang dijual di sekolah. Kalau ketahuan ada sekolah yang main mata dengan penerbit untuk, misalnya, menjual LKS, maka akan diberi sanksi. Pokoknya, untuk semua kebutuhan buku teks di sekolah, gratis tis tis.
Sudah tentu kita menyambut baik dan sangat mengapresiasi kebijakan Pemerintah dalam menggratiskan buku teks ini. Hal ini sejalan dengan program wajib belajar, yang semula 9 tahun, menjadi 12 tahun. Selain sudah tidak dipungut lagi SPP dan sejenisnya, buku teks juga disediakan secara gratis. Alhasil, Pemerintah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan, termasuk dalam hal penyediaan buku teks. Beban orang tua otomatis sedikit berkurang. Orang tua tinggal memikirkan biaya pakaian seragam, alat tulis, dan ongkos pulang pergi ke sekolah kalau sekolah berada jauh dari tempat ringgal. Kini, tak kita temukan lagi kasak-kusuk agen penerbit ke sekolah untuk menawarkan buku teks. Semua sudah disediakan Pemerintah. Sekali lagi, kita apresiasi langkah pemurah dari Pemerintah ini.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah penerbit benar-benar tak punya kesempatan lagi untuk berbisnis di bidang buku teks? Ternyata masih ada celah, walaupun kini celah itu nyaris tak bisa ditembus. Pemetintah dalam hal ini hanya menerbitkan Buku Teks Utama (BTU) untuk semua mata pelajaran dari jenjang SD sampai SMA dan yang sederajat. Pemerintah membolehkan penerbit swasta membuat Buku Teks Pendamping (BTP), dengan catatan kontennya tidak boleh keluar dari Capaian Pembelajaran (CP) yang sudah ditentukan Pemerintah, juga tidak boleh meleset dari BTU terbitan Pemerintah.
Namun, kendati sudah diperbolehkan menerbitkan buku teks pendamping, geliatnya tetap jalan di tempat. Bagaimana tidak, buku teks sudah digratiskan. Ngapain pula harus bersusah payah mencari buku teks pendamping yang konon berharga mahal? Tentu saja, walau dijual murah, tak bisa menandingi yang benar-benar gratis. Dan nampaknya, di sekolah kini memang tak ada lagi buku teks dijual. Siswa sudah dimanjakan dengan buku-buku gratis, yang disediakan sekolah melalui perputakaan sekolah.
Lalu, bagaimana nasib penulis buku yang sudah terbiasa mendapatkan royalti dari penerbit swasta? Ya, sudah tamatlah juga riwayat penulis, yang sebelumnya memperoleh royalti tiap tahun dari penerbit.
Sebenarnya, khusus bagi penulis, masih ada kesempatan untuk mendulang cuan dari kegiatan menulis buku teks, kalau ditunjuk Pemerintah untuk membuatnya. Namun, celah itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Soalnya, ada seleksi ketat yang harus ditempuh penulis. Tahap seleksi ini di antaranya adalah adanya komitmen untuk menulis buku. Konsekuensinya, harus siap digantikan orang lain jika terlambat menyetor naskah, atau membuat buku secara asal-asalan. Syarat berikutnya, harus sudah pernah membuat buku sebelumnya, juga harus menyetor contoh naskah buku yang akan dibuat. Contoh ini cukup satu bab saja. Namanya juga contoh. Namun, dari contoh ini akan diperoleh poin penentu seleksi. Kalau contohnya tidak mumpuni, maka dengan sendirinya akan tereliminasi. Terakhir, syarat yang tidak bisa dianggap enteng, adalah atitude. Tidak semua yang cerdas dalam menulis buku teks akan lolos di tahap ini. Menurut pengalaman saya, melalui tes wawancara, kita harus menunjukkan jiwa kebangsaan, cinta tanah air, setia pada NKRI, dan menunjukkan bagaimana nasib anak bangsa ke depan setelah mengambil manfaat dari buku karangan kita. Ini tak bisa ditawar. Kalau Anda memperlihatkan sikap sombong, angkuh, merasa diri paling cerdas, susah diatur, ya sudah, tak kan lolos jadi penulis Pemerintah. Konon, di tahun 2025 ini banyak penulis yang gagal seleksi, walaupun hasil karya sebelumnya banyak yang sudah diterbitkan. Alasannya, ya atitude ini. (Alhamdulillah, saya termasuk yang lolos seleksi).
Nampaknya Pemerintah sangat berhati-hati dalam menyediakan buku teks ini. Bukan hanya dari segi penulis, tapi juga dari segi-segi lainnya. Konon, untuk menulis satu buku teks pelajaran, banyak orang terlibat di dalamnya. Selain penulis, juga dilibatkan penelaah, ilustrator, pengarah visual, dan juga editor. Jika penulis banyak berasal dari guru-guru yang punya kemampuan luar biasa untuk menulis, penelaah harus yang benar-benar pakar di bidangnya. Maka pemerintah mengambil kebijakan, yang menjadi penelaah adalah mereka yang berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi, yang kepakarannya sudah teruji. Maka, banyak profesor doktor yang direkrut jadi penelaah. Demikan pula orang yang ditunjuk untuk jadi ilustrator, editor, dan pengarah visual. Semuanya diseleksi secara ketat. Selanjutnya, nama-nama mereka akan dicantukan di halaman belakang buku, lengkap dengan foto profil serta riwayat hidupnya.
Bagaimana dengan nasib penerbit yang tidak ditunjuk pemerintah untuk menerbikan buku teks utama? Ya, apa hendak dikata. Selama puluhan tahun terbiasa dengan bisnis buku teks, kini harus pasrah pada keadaan. Tidak ada lagi celah untuk berbisnis di bidang ini. Kalaupun mau, ranahnya adalah di bidang pengadaan buku pengayaan, yang memang Pemerintah membebaskan untuk menerbitkan buku jenis ini kepada penerbit-penerbit swasta. Buku pengayaan ini berfungsi untuk menunjang buku teks utama, untuk menambah wawasan dan pengetahuan siswa di bidang tertentu secara lebih mendalam. Misalnya, buku tentang tata cara menulis surat lamaran pekerjaan untuk menunjang buku teks utama Bahasa Indonesia di SMA. Masalahnya, buku pengayaan ini sepi peminat. Tidak semua siswa tertarik untuk membaca buku pengayaan, apalagi membelinya. Jadi, bagi penerbit, mencari cuan di bidang buku sekolah, untuk sementara nampaknya belum ada kesempatan.***

.

Back to top button