GATI Wujud Tanggung Jawab Dalam Keluarga

Oleh: Drs D Rusyono, M.Si.
Anggota Juang Kencana Kuningan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. sekaligus juga merupakan bagian integral dari penduduk dengan segala aspek kependudukannya serta fungsi yang diperankannya (UU No52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Bahkan secara konjugal dalam keluarga termasuk pula anggota lainnya yang ikut serta di dalamnya seperti cucu, keponakan, kakek/nenek dan sebagainya yang masih ada kaitan persaudaraan. (Ida Bagus Mantra, 1985).
Peringatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) ke 32 Tahun 2025 menurut informasi akan dipusatkan di Tenggarong Ibu Kota Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, dengan tujuan merenungkan kembali arti penting keluarga sebagai fondasi kokoh dalam membangun bangsa yang sejahtera dan tangguh, serta bertanggung jawab. Tangguh dalam arti Kondisi yang kuat, handal dalam pendirian, berintegritas, semangat dan konsisten, serta tabah, sabar dan ikhlas dalam menghadapi segala cobaan/ujian. Hari Keluarga sendiri bermakna Perayaan nilai-nilai yang mengikat keluarga, seperti cinta, rasa hormat dan dukungan, bertujuan untuk menghargai/mengapresiasi pentingnya keluarga dalam pembangunan bangsa. Sedangkan tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatu dari tugas dan peran serta resiko yang ditimbulkannya. (KBBI, 2014).
Tetapi bukan berarti komponen lain menjadi tidak penting, karena sudah jelas sesuai dengan tugas pokok, fungsi masing-masing harus berjalan seiring sejalan, sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam fungsi keluarga, yang dalam Pembangunan Keluarga terdiri dari delapan (8) Fungsi, yakni : Fungsi Agama, Pendidikan, Kesehatan, Cinta Kasih, Ekonomi, Sosial-Budaya, Perlindungan dan Lingkungan.
Sebagaimana sering disampaikan, bahwa Hari Keluarga tidak lepas dari sejarah perjuangan pada masa lalu yakni masa agresi II Belanda pada tahun 1949, dimana pada waktu itu Belanda menyerahkan sepenuhnya/secara utuh kedaulatan Republik Indonesia, dan para pejuangpun kembali kepada keluarganya masing-masing bertepatan dengan tanggal 29 Juni 1949, maka ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional, dan melalui legalitas formal dengan KEPRES No.39/2014.
Sedangkan GATI atau Gerakan Ayah Teladan Indonesia adalah sebuah gerakan yang mengedepankan sosok ayah yang menjalankan kewajibannya untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi keluarganya. Tentunya dengan ketulusan sebagai gerakan, maka harus menjadi kebutuhan yang muncul dari bawah, dari keluarga/masyarakat, sesuai dengan makna gerakan itu sendiri yaitu suatu aktivitas yang muncul dari bawah (dari diri, keluarga dan masyarakat) tentang sesuatu yang bermanfaat dan berlangsung secara terus menerus. Jadi komponennya adalah diikuti oleh banyak orang, di banyak tempat dan dibanyak waktu artinya berlangsung dalam waktu yang lama terus menerus serta tumbuh atas inisiatif sendiri (Rukman, 21 Mei 2025). Sedangkan arti lain dari gerakan adalah keadaan bergerak, sebagai usaha untuk menuju yang lebih baik (KBBI, 2023).
Atas dasar tersebut, maka Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) sangat relevan dengan momentum Hari Keluarga Nasional ke 32 Tahun 2025 yang mengedepankan peran ayah dalam membersamai dan melindungi kepada anak.Selanjutnya seorang ayah yang baik, menurut GAKI, adalah mengarahkan kasih sayang, perhatian dan kepedulian kepada istri dan anak-anaknya, ia tidak sombong dan mau belajar. Ia juga merupakan sosok yang menduduki tempat istimewa dalam kehidupan setiap individu. Ia bukan hanya seorang figur dari sebuah keluarga, tetapi juga seorang pemimpin, pahlawan dan teladan dalam banyak hal. Ayah juga menjadi garda terdepan dalam memberikan dukungan, bimbingan dan kasih sayang kepada keluarga (Rakornas Juken Pusat, 2024).
Kemudian juga tugas dan kewajiban seorang ayah sebagai penyedia keperluan sumber daya utama bagi keluarga, seperti menyediakan uang, makan-minum, tempat tinggal, pakaian untuk anak dan keluarganya, sekaligus juga sebagai penyedia pengasuhan untuk anak. Juga sebagai ayah yang baik harus memberikan contoh positif melalui perilaku dan nilai-nilai yang dia tunjukan/tanamkan, mengajarkan sikap jujur, hormat dan tanggung jawab, kerja keras dan empati, karena orang tua akan menjadi pusat peniruan bagi anaknya.
Di sisi lain, dalam Islampun peran ayah sangatlah kompleks/luar biasa diantaranya ayah mengajarkan tentang tanggung jawab, sementara ibu mengajarkan tentang kecerdasan, sebagai contoh kepada anak yang sedang bermain mainan yang bisa dibongkar pasang, maka ayah akan memberikan pesan edukasi dengan ucapan “kalau sudah selesai bermainnya nanti diberesin lagi ya”, biasanya hanya sampai disitu pada tingkat penanaman tanggung jawab, sedangkan peran ibu akan mengantarkan/menstimulan tanggung jawab tadi kepada tindak lanjut implementasinya lengkap dengan contoh yang seharusnya, sehingga peran ibu dengan keuletan dan kesabarannya lebih mengarahkan anak pada aspek kecerdasan (intelegensia), jadi ayah lebih bersifat komando dan ibu yang menjabarkannya, meskipun sesekali ayah juga ikut menjabarkan, tetapi tidak lebih dari 40 % saja, sedangkan ibu sampai 60 %. (Elansary, 1994), yang jelas pada dasarnya kecerdasan dan tanggung jawab pada anak terjadi dari perpaduan gen kedua orang tua ditambah dengan pengaruh dari luar diri dan lingkungan.
Masih seputar penteladan dalam sisi Islam, seperti maklum pada bulan Juni ini juga terdapat momentum teramat baik dalam kaitan dengan bentuk tanggung jawab ayah terhadap anak, yakni peristiwa Idul Adha, dimana diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim lewat mimpinya harus mengurbankan putranya yaitu Nabi Ismail dengan cara menyembelihnya, kemudian karena itu sebuah perintah dari Allah, maka selaku hamba yang taat dilaksanakanlah perintah tersebut. Kemudian Allah Swt menilai Nabi Ibrahim sebagai hamba yang sangat taat terhadap perintah Allah juga sangat sabar dalam menghadapi ujian dari Allah, maka Nabi Ibrahimpun dinyatakan lulus dengan sangat terpuji, dan Allah pun berkenan menggantinya dengan seekor hewan qurban yaitu domba/gibas, dan Nabi Ismail-pun kembali menjalani kehidupan seperti semula, sedangkan Nabi Ibrahim dijuluki sahabat Allah (khalillullah) dan Bapak dari para Nabi (abul anbiya).
Satu hal lagi yang cukup penting dalam penteladanan adalah harmonis sebagai wahana menuju bahagia dan sejahtera, yang ditandai dengan seiya sekata, kompak, selaras, serasi dan seimbang diantara satu sama lain yang berhubungan (KBBI, 2023). Bahagia letaknya ada pada hati dan pikir, yaitu sejauh mana ketenangan kedua komponen itu bisa tercipta dari kondisi yang ada, kemudian dapat menstimulan kepada suasana yang kondusif menuju terwujudnya situasi kesejahteraan. inipun tidak hanya sekedar terpenuhinya segala kebutuhan hidup, tetapi juga kepada rasa syukur dan tenang dalam mendayagunakannya, seperti tepat waktu dan tepat peruntukan, sedikit menjadi cukup dan banyak bisa menyimpan serta berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Itulah hakekat bahagia-sejahtera.***