Sekolah dan Sepiring Harapan

Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan sesuatu yang fundamental, yakni negara wajib membiayai pendidikan dasar hingga menengah pertama secara gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta. Keputusan ini membawa gelombang harapan baru di tengah kekhawatiran lama tentang kesenjangan pendidikan.
Selama ini, pendidikan dasar memang disebut gratis. Namun, dalam praktiknya, masih banyak pungutan liar atau iuran sukarela yang menjadi beban terselubung bagi keluarga miskin. Sedangkan sekolah swasta, yang menampung jutaan siswa, justru luput dari tanggung jawab pendanaan negara.
Putusan MK ini menyapu kabut perbedaan perlakuan. Pendidikan adalah hak warga, bukan tergantung pada jenis lembaga penyelenggaranya. Negara tidak bisa terus bersembunyi di balik frasa “yang diselenggarakan pemerintah”.
Bersamaan dengan itu, sebelumnya muncul program makan siang dan susu gratis dari pasangan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang direncanakan berjalan secara nasional. Kombinasi kebijakan ini bisa menjadi fondasi peradaban baru jika dikelola dengan benar.
Pendidikan dan gizi bisa dikatakan sebagai dua sisi dari mata uang kemajuan. Anak yang lapar sulit belajar, dan pendidikan yang tak menyentuh perut hanya jadi hafalan yang rapuh.
Prof. Arief Rachman, tokoh pendidikan nasional, menyebut keputusan MK sebagai langkah moral yang menyeimbangkan antara idealisme konstitusi dan realitas sosial. Menurutnya, inilah koreksi terhadap tafsir sempit tentang tanggung jawab negara.
Sayangnya, realisasi tak cukup hanya dengan putusan yudisial. Dibutuhkan eksekusi yang berani, konsisten, dan transparan. Apalagi, anggaran makan siang gratis ditaksir mencapai lebih dari Rp400 triliun. Angka yang fantastis, tapi akan bermakna bila tepat sasaran.
Pendidikan gratis tanpa kualitas hanya akan melahirkan generasi setengah jadi. Sebaliknya, makan siang tanpa proses pembelajaran bermakna hanya menunda kelaparan, bukan membangun masa depan.
Sekolah swasta, yang kerap dianggap sebagai pilihan kelas dua bagi siswa miskin yang tak tertampung di negeri, kini harus disetarakan. Negara wajib hadir dengan bantuan operasional, pembinaan guru, hingga jaminan mutu.
Pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Kemitraan dengan organisasi pendidikan, yayasan, dan komunitas lokal mutlak dibutuhkan. Konsep kolaboratif menjadi penting agar program ini tidak menjadi proyek elite.
Pengamat kebijakan publik, Eko Prasodjo, mengatakan bahwa ini momentum untuk mendesentralisasi keberpihakan. Pemda harus diberi ruang, dan juga dikawal agar tak salah urus.
Sejarah mencatat, banyak kebijakan besar tumbang bukan karena niat buruk, melainkan karena eksekusi yang buruk. Kita pernah punya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang membaikkan akses, tetapi kadang tersandung karena minim pengawasan.
Program makan siang gratis pun bisa menjadi bencana jika tak disertai dengan sistem distribusi yang efisien dan akuntabel. Jangan sampai dana triliunan justru menumpuk di kantong penyedia logistik dan politisi daerah.
Sebaliknya, jika ditata dengan baik, kita bisa memberdayakan petani lokal, ibu rumah tangga, dan koperasi sekolah. Program makan siang gratis bisa menjadi lokomotif ekonomi mikro.
Di balik semua itu, peran guru tetap tak tergantikan. Mereka bukan sekadar pengajar, melainkan penggerak peradaban. Tanpa pelatihan berkala dan penghargaan yang layak, program sebesar apapun akan kehilangan nyawanya.
Sementara itu, guru di sekolah swasta harus dilihat dengan kacamata keadilan. Banyak dari mereka bekerja dengan gaji di bawah standar UMR, tanpa jaminan hari tua. Padahal, mereka mendidik anak-anak yang akan ikut membangun republik ini.
Rakyat sudah lama bersabar menanti sekolah yang tak hanya ramah biaya, tapi juga ramah manusia. Di mana siswa tidak lagi takut diusir karena belum bayar SPP, dan guru tidak lagi mengajar sambil menahan lapar.
Kita sedang menuju ke arah yang benar. Akan tetapi, jalan ini masih panjang. Putusan MK dan program makan siang gratis harus jadi permulaan, bukan puncak prestasi.
Perlu rencana induk agar kebijakan yang bijak ini tidak menjadi kebijakan tambal sulam. Perlu peta jalan yang melibatkan akademisi, guru, kepala sekolah, pemda, dan masyarakat. Karena hak atas pendidikan dan gizi merupakan amanah konstitusi, bukan belas kasih penguasa. Dan perlu diketahui bahwa negara tak sedang berbuat baik, melainkan sedang menunaikan kewajiban.
Di sisi lain, kita tak butuh sekolah mewah, cukup sekolah bermartabat. Kita tak butuh makanan mahal, cukup makanan bergizi. Jika ini berhasil, anak-anak akan tumbuh dengan pintar dan kuat. Mereka akan menjadi warga yang percaya pada negara, karena negara lebih dulu percaya pada mereka.
Tak ada investasi yang lebih tinggi hasilnya dari memberi makan dan mengajar anak bangsa. Ini bukan sebatas utopia. Ini bisa dinamakan sebagai konstitusi yang hidup.
Dari sudut pandang berbeda, di tengah keraguan publik, pemerintah harus menjawab dengan ketegasan dan kerja nyata. Karena satu langkah keliru bisa membalikkan semua harapan.
Putusan MK sudah menjadi palu keadilan. Program makan siang gratis telah menjadi salah satu tangan kesejahteraan. Saatnya kita tunggu kaki kebijakan melangkah menuju masa depan.
Jangan biarkan ini hanya jadi narasi kampanye atau headline media. Rakyat ingin bukti, bukan janji. Mereka ingin melihat anak-anaknya belajar dan makan, bukan hanya mendengar kata gratis. Seperti padi yang tak akan tumbuh hanya karena kita berdoa, ia butuh ladang, air, dan petani. Pendidikan juga begitu. Ia butuh sistem, anggaran, dan niat baik yang tak berubah jadi retorika.
Dengan demikian, negara yang besar tidak hanya diukur dari jumlah gedung sekolahnya, tetapi dari kesungguhannya memastikan setiap anak bisa belajar tanpa lapar dan tumbuh tanpa ketakutan. Saat piring dan papan tulis sama-sama diisi, saat itulah republik ini benar-benar hadir dalam kehidupan warganya.***