Ragam

Petaka Gunung Kuda

JANGAN salahkan longsor. Ia hanya menjalankan tugasnya, memberi pelajaran pada manusia-manusia yang bandel meski peringatan datang seperti hujan deras—sering. Masuk telinga kanan, tapi keluar justru truk bermuatan batu.

Gunung Kuda di Cirebon akhirnya runtuh juga. Bukan karena rapuh, tapi karena terlalu sering dipotong dari bawah. Seperti biasa, usai tragedi, para pejabat muncul bak pahlawan super yang datang setelah film hampir tamat.

Kapolres memasang garis polisi. Kadis ESDM menegaskan kesalahan metode tambang. Bahkan, disebutkan peringatan telah diberikan berkali-kali.

Rupanya, peringatan itu sejenis mantra anti-efektif yang dibacakan sambil berharap pengusaha sadar sendiri. Tentu saja tidak sadar—atau pura-pura tidak sadar, karena keuntungan lebih penting dari lereng yang pelan-pelan jadi kuburan.

Yang paling menyentuh adalah pernyataan bahwa izin tambang akan habis November ini. Artinya, tambang ini seperti kontrakan yang boleh rusak asal sebelum tanggal jatuh tempo.

Pemerintah katanya akan menutup tambang ini. Sekarang. Setelah longsor. Setelah belasan orang terkubur. Seandainya penutupan bisa dilakukan sebelumnya, tapi ya, mungkin itu terlalu progresif untuk dilakukan tanpa ada korban terlebih dahulu.

Dan mari kita tidak lupa pada para pekerja tambang. Mereka bukan sekadar angka korban. Mereka adalah manusia-manusia yang terpaksa bertaruh nyawa demi sesuap nasi.

Tapi tentu, keselamatan pekerja bukan bagian dari sistem pertambangan yang efisien—mereka hanya komponen sekali pakai dalam kalkulasi keuntungan.

Terakhir, mari kita beri tepuk tangan untuk sistem pengawasan yang rajin memberi peringatan tanpa sanksi, dan pengusaha yang dengan gagah berani menambang dari bawah, melawan gravitasi dan logika geologi.

Kita tunggu saja bencana berikutnya, sambil berharap kali ini “peringatan agak lebih keras” itu disertai tindakan nyata—sebelum tanah kembali menelan yang tak bersalah.***

Related Articles

Back to top button