Provinsi Cirebon Raya?

SETELAH lebih dari dua dekade perjuangan tanpa henti, harapan masyarakat Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) untuk membentuk Provinsi Cirebon Raya akhirnya menemukan momentum politik yang menjanjikan.
Dicabutnya moratorium pemekaran daerah oleh pemerintah pusat bukan hanya sinyal administratif, melainkan sebuah peluang strategis yang harus dijaga, dikawal, dan diwujudkan secara arif dan visioner.
Prof. Rokhmin Dahuri, tokoh yang konsisten mengawal aspirasi ini, menyampaikan dengan tegas bahwa Provinsi Cirebon Raya bukan dibangun atas dasar ego kedaerahan, melainkan panggilan untuk memperjuangkan keadilan pembangunan, efektivitas tata kelola pemerintahan, serta percepatan pelayanan publik.
Hal ini penting, mengingat selama ini wilayah Ciayumajakuning berada dalam bayang-bayang ketimpangan birokratis dan keterbatasan anggaran daerah yang tidak berbanding lurus dengan potensi ekonomi dan sumber daya manusianya.
Penting untuk diingat bahwa otonomi tidak otomatis menjamin kemajuan. Tanpa kepemimpinan yang kuat, tata kelola yang transparan, dan partisipasi publik yang aktif, Provinsi Cirebon Raya bisa saja mengulang kegagalan sejumlah provinsi baru lain yang justru membebani negara.
Maka, momentum ini harus dibarengi dengan kesiapan institusional dan moral, memastikan bahwa pemekaran adalah instrumen untuk rakyat, bukan hanya panggung politik elit lokal. Dokumen pendukung yang telah diajukan ke Prolegnas DPR RI menunjukkan bahwa perjuangan ini tidak dibangun dengan emosi, tetapi dengan kerja teknokratik. Cirebon Raya memiliki posisi strategis di Pantura, berbatasan dengan Jawa Tengah, dan kaya akan sumber daya dari industri, pertanian, perikanan, hingga logistik.
Bila dikelola dengan bijak, bukan mustahil Cirebon Raya menjadi lokomotif pertumbuhan baru di wilayah barat Indonesia. Namun satu hal yang tak boleh dilupakan: Pemekaran bukanlah garis akhir, melainkan titik awal.
Titik awal untuk membangun budaya pemerintahan yang bersih, berorientasi layanan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat akar rumput.
Kini saatnya seluruh elemen masyarakat Cirebon Raya bersatu. Pemuda, akademisi, pelaku usaha, tokoh agama dan adat harus terlibat aktif mengawal proses ini—bukan sebagai penonton, tapi sebagai pemilik sah dari mimpi kolektif ini.
Provinsi Cirebon Raya bukan lagi sekadar wacana. Ia sedang menuju kenyataan. Mari pastikan ia lahir bukan sebagai simbol, tapi sebagai harapan baru yang benar-benar bekerja untuk rakyatnya.***