Ragam

Menyepi dari Gawai, Mendekat pada Kawan

ADA yang berbeda di sekolah-sekolah menengah pertama di Kabupaten Cirebon selepas Idulfitri tahun 2025 ini. Suasana yang dahulu kerap dihiasi cahaya layar dan kepala menunduk kini perlahan berubah.

Anak-anak mulai mengangkat wajah, menatap kawan, bercakap, bermain. Sebuah kebijakan baru dari Dinas Pendidikan setempat telah resmi berlaku: larangan membawa telepon genggam ke lingkungan sekolah.

Larangan ini mungkin terdengar kuno bagi sebagian orang di era digital. Tapi, seperti yang dibuktikan oleh SMPN 1 Weru, pilot project kebijakan ini—hasilnya jauh dari sekadar simbol disiplin.

Di sana, siswa-siswa mulai kembali mengenal makna interaksi sosial di dunia nyata: menyapa, bercanda, dan bermain. Sekolah menjadi ruang sosial kembali, bukan sekadar lokasi untuk sinyal Wi-Fi.

Kebijakan ini memang tidak datang tanpa intrik. Uji coba di Weru diwarnai pro dan kontra. Sebagian orang tua sempat keberatan. Sebagian siswa mungkin merasa kehilangan “teman” digitalnya.

Namun kenyamanan dan ketenangan yang tumbuh kemudian membungkam keraguan itu. Apa yang semula dianggap pembatasan, ternyata justru membuka ruang yang lebih luas untuk pembelajaran yang utuh—tak hanya akademis, tapi juga emosional dan sosial.

Disdik Cirebon pun tidak sekadar melarang tanpa solusi. Fasilitas seperti call center sekolah disiapkan untuk mengakomodasi kebutuhan darurat siswa, termasuk memesan transportasi daring.
Pengecualian pun diberikan untuk keperluan penting seperti Computer Assisted Test (CAT). Larangan untuk guru juga bersifat terbatas: hanya berlaku saat di dalam kelas.
Ini menunjukkan bahwa larangan itu bukan bentuk represi, tetapi strategi. Tujuannya bukan menjauhkan siswa dari teknologi, melainkan mengatur ruang dan waktu penggunaannya secara bijak. Bahwa sekolah bukan tempat untuk terkurung dalam layar, tetapi untuk tumbuh sebagai manusia sosial.
Kebijakan ini patut diapresiasi, terlebih di tengah kekhawatiran global tentang dampak adiksi gawai pada anak-anak. Namun, pekerjaan belum selesai. Evaluasi berkala dan pendekatan yang komunikatif dengan orang tua perlu terus dilakukan.

Jangan sampai sekolah menjadi seperti penjara digital yang justru menumbuhkan pemberontakan diam-diam.

Mendidik anak-anak untuk tidak tergantung pada gawai bukan berarti menutup mereka dari teknologi, melainkan mengajarkan mereka cara menaklukkannya.

Dan sekolah, sebagai tempat pendidikan karakter, punya tanggung jawab pertama untuk membentuk kesadaran itu.

Kita tentu tidak sedang ingin memutar waktu ke masa lalu.

Tapi, kita bisa dan harus memastikan bahwa di masa depan, anak-anak kita tidak kehilangan kemampuan paling mendasar sebagai manusia: menyapa, mendengar, dan merasakan dunia di sekeliling mereka, tanpa perantara layar.
***

Related Articles

Back to top button