Opini

Kolam Lele: Demonstrasi, Aksi Damai dan Masyarakat Sipil

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UIN SSC Cirebon

Sabtu, 12 April 2025, masyarakat Cirebon Timur telah melaksanakan fungsinya dalam tatanan demokrasi, yaitu demonstrasi. Mereka datang ke sebuah kubangan besar yang membentuk lubang di tengah-tengah jalan raya. Konon kubangan itu selalu terisi setiap hujan datang dan terjadi sejak 2018. Alangkah bersyukurnya Kabupaten Cirebon memiliki tempat yang bermanfaat untuk budi daya ikan. Dengan kreatifitas, masyarakat Cirebon Timur menyulap kubangan itu menjadi kolam lele pada siang hari. Peristiwa itu digarap beramai-ramai, menyambut 7 tahun umur kubangan yang sudah siap menjadi kolam lele. Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari unjuk rasa tulus masyarakat Cirebon Timur? Dan esai ini akan membahas perihal pentingnya demonstrasi, unjuk rasa dilindungi negara, dan kenapa kita harus menggunakan aksi kedamaian daripada kekerasan.
Spektakuler! Satu kata dari penulis yang menggambarkan aksi dari mereka. Akhirnya setelah 7 tahun tertutup ilusi, rakyat berhasil membuka mata untuk tahun ini. Tidak hanya menyalahkan, atau bersumpah serapah pada wakil yang kadang mengkhianati rakyat. Masyarakat menunjukkan siapa mereka, apa posisi mereka di negara ini. Apakah rakyat hanya alat demokrasi yang selalu disuap setiap pemilihan umum? Atau bagian dari tumbuh kembangnya Indonesia? Sungguh kemajuan revolusioner yang pesat.
Demonstrasi itu penting. Karena demonstrasi adalah aktivitas yang dapat dilakukan oleh masyarakat sesuai undang-undang, yang di mana undang-undang juga adalah hasil karya dari negara demokrasi. Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyatakan tentang pentingnya peningkatan peran masyarakat sipil dalam demokratisasi di Indonesia. Sikap yang mesti dimiliki oleh masyarakat sipil adalah mandiri dan otonom. Masyarakat dapat memajukan diri sendiri, berasas dari sila kedua yaitu ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’. Selain itu didukung juga oleh sila keempat yaitu ‘permusyawaratan dalam perwakilan’. Masyarakat sipil ‘diperbolehkan’ untuk ikut campur pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dan negara. Bersikap kritis dalam sepak terjang politik Indonesia. Begitu juga apa yang dilakukan rakyat Kecamatan Babakan yang dikoordinatori H. Dade Mustofa Efendi. Beliau mewakili semua partisipan demo menyebutkan, aksi ini sebagai lambang kekecewaan warga yang tertimbun lama kepada Pemerintah Kabupaten Cirebon. Meskipun pejabat kabupaten bilang mereka sudah mengusulkan anggaran walau dipotong, justru pernyataan itu menambah api kekecewaan rakyat. Anggaran untuk kemaslahatan rakyat kok dipotong.
Dalam ilmu pemerintahan, ada 3 konsep umum, yaitu masyarakat sipil (Civil Society), negara (State), dan demokrasi (Democracy). Di negara Indonesia, 3 konsep tersebut tidak dapat dipisahkan dan berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing konsep dapat mempengaruhi satu sama lain. Jika negara terlalu otoriter apalagi sampai totaliter, dapat dipastikan tidak ada civil society. Bila masyarakat sipil terlalu kuat maka tidak ada demokrasi, justru menjadi anarki. Sebuah paham negara tidak memerlukan kepala negara formal. Mari kita sekarang lihat dan memberi perhatian, posisi kita ada di mana? Masyarakat sipil atau bagian dari negara (pemerintah)? Sebagai masyarakat sipil harus mengawal dan mengetahui kerja pemerintah. Dan sebagai pemerintah apakah bisa mensejahterakan rakyat yang akan berimbas pada majunya negara itu sendiri. Contoh yang dilakukan kelompok H. Dade Mustofa Efendi ialah civil society sebagai penyeimbang kekuasan negara. Itu yang tertera dalam Democracy in America karya Alexis de Tocquiville. Alagappa di Civil Society dan Political Change menambahkan peran masyarakat sipil, ‘civil society adalah variabel kunci dalam liberalis tisu politik dan transisi menuju demokrasi yang solid (Consolidated Democracy)’.
Kajian-kajian ilmu memberitahu bahwa demonstrasi itu diperbolehkan. Lantas kenapa unjuk rasa di Kecamatan Babakan baru terjadi hari ini dari 7 tahun lalu? Ketakutan mungkin jadi penyebab. Semua orang berani bicara bahwa pihak pemerintah bisa lalai pada rakyatnya. Tetapi, tidak semua orang berani melantangkan pernyataan itu dan melakukan orasi perihal apa yang dirasakan. Perlulah sekiranya kita tahu dasar hukum mengenai demonstrasi itu. Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi ‘kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’.
Berdasarkan pasal tersebut, maka masyarakat dapat dengan bebas mengeluarkan aspirasi mereka di muka umum, baik dengan lisan maupun tulisan tanpa ragu. Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang berbunyi ‘Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas’.
Sesudah kita tahu mengenai hukum demonstrasi yang sesuai konstitusi, selanjutnya juga kita harus memahami mengapa demonstrasi tidak popular. Salah satu faktornya adalah kekerasan. Memang masih banyak aksi-aksi yang merusak fasilitas negara dan tak jarang mengundang amarah kepolisian. Mereka adalah oknum dari aksi massa yang bisa jadi diluar kelompok inti massa. Terakhir di Cirebon, demo Tritura 24 Maret soal RUU TNI. Ada sekelompok massa yang damai hanya berorasi, membakar ban, dan konsolidasi. Sedangkan ada segelintir orang yang ikut aksi tersebut malah menimbulkan kerusakan. Mereka mencopot plang, memecahkan pot, dan masih banyak lagi. Inilah penyebab masyarakat atau golongan lain trust issue pada demonstrasi. Rentan terjadi kerusakan.
Masalah ini global, tidak hanya ada di Indonesia melainkan di seluruh negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam artikel ilmiah berjudul Why Civil Resistence Works karya Maria J. Stephen dan Erica Chenoweth. Mereka mengumpulkan data-data tahun 2000-2006 soal protes damai seperti boikot, pemogokan, dan non-kooperatif untuk melawan kebijakan pemerintah atau perusahaan yang merugikan. Terjadi di Serbia (2002), Madagaskar (2002), Georgia (2003), Ukraina (2004-05), Lebanon (2005), dan Nepal (2006).
Tingkat keberhasilan dan efektif protes damai sebesar 53% daripada aksi kekeresan yang memiliki angka 26%. Manfaat terbesar aksi damai adalah kepercayaan masyarakat bahwa apa yang massa lakukan itu baik dan teroganisir. Dengan masyarakat awam melihat aksi secara damai, malah memotivasi mereka untuk bergabung dan mendukung aksi tersebut dengan menyumbangkan uang atau logistik. Semakin banyak massa dan lama mereka bertahan, juga berpengaruh pada tekanan pemerintah yang membesar. Selain itu, polisi dan militer tidak akan punya alasan untuk melakukan tindakan represif jika kita damai dan tidak merugikan orang lain.
Mari kita kembali ke topik unjuk rasa masyarakat Cirebon Timur. Perbedaan kita berdiam diri ketimbang demonstrasi yaitu respon pemerintah. Sebagian masyarakat khususnya Kecamatan Babakan tahu jalan itu rusak, tetapi apakah pejabat setempat tahu hal itu. Dengan demonstrasi bisa membuka mata pejabat untuk sadar bahwa mereka belum melakukan sesuatu yang praktis untuk rakyat. Wakil ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Teguh Rusiana Merdeka mengatakan, mendukung aksi ini dan akan mengalokasikan Rp 10 Miliar untuk jalan sekitar Gebang-Babakan-Pabuaran. Hal sama dikonfirmasi oleh Bupati Cirebon, Imron Rosadi.
Apa yang dilakukan warga Cirebon Timur menunjukkan bahwa suara rakyat tak bisa terus-menerus diabaikan. Lewat aksi damai yang kreatif, mereka menyampaikan kekecewaan sekaligus harapan. Ini bukan sekadar protes soal jalan rusak, tapi cermin dari semangat berdemokrasi yang sehat. Karena ketika rakyat bicara, seharusnya pemerintah juga mau memasang telinga.***

Related Articles

Back to top button