Ojol Melawan Sistem

DEMO yang digelar ratusan pengemudi ojek online di depan Balai Kota Cirebon, Selasa lalu, bukan sekadar letupan emosional sesaat.
Aksi yang berlangsung damai, namun penuh amarah itu, menyuarakan sesuatu yang jauh lebih mendasar: keinginan untuk diperlakukan adil dalam sistem yang selama ini tak berpihak.
Para pengemudi yang tergabung dalam Aliansi Ojol Cirebon Bersatu membawa sederet tuntutan yang menyentuh inti persoalan relasi kerja digital: potongan hasil kerja yang mencekik, kebijakan tarif yang menimbulkan kecemburuan antarsesama pengemudi, hingga program yang dianggap melanggar aturan transportasi.
Tak berlebihan bila mereka menyebut diri sedang “berjuang untuk kesejahteraan”. Sebab kenyataannya, model kerja platform digital masih menempatkan pengemudi sebagai tulang punggung sistem, namun tanpa perlindungan yang semestinya.
Koordinator aksi, Tryas, menyebut program “Grab Bike Hemat” dan potongan 20 persen dari hasil kerja sebagai beban tak masuk akal. Ini bukan semata soal angka, tapi soal keadilan dalam hubungan kerja yang kini dibungkus dalam algoritma dan kebijakan sepihak dari perusahaan aplikator.
Ironisnya, di tengah derasnya gelombang tuntutan, pemerintah daerah yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan korporasi—justru absen. Wali Kota tak hadir, DPRD tak tampak, bahkan kantor Grab pun kosong saat massa mendatangi.
Ketidakhadiran ini lebih dari sekadar masalah teknis: ia memperlihatkan seberapa jauh jarak kekuasaan dari denyut persoalan rakyatnya.
Tanggung jawab pemerintah tidak bisa semata-mata dilemparkan ke pusat. Pemerintah daerah tetap berkewajiban membina, memfasilitasi, dan menjamin agar model kerja digital tidak menciptakan kelas pekerja yang terpinggirkan.
Kadishub Cirebon memang berupaya menjalin komunikasi dengan pihak Grab, namun itu baru langkah awal yang mesti dikawal terus agar tak jadi basa-basi birokrasi.
Di sisi lain, munculnya desakan kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menerbitkan Perda Kesejahteraan Ojol, menjadi sinyal bahwa pengemudi ojol tak lagi sekadar menuntut hak, tapi juga mulai memahami pentingnya regulasi yang berpihak.
Ini momentum politik yang patut diperhitungkan.
Era kerja digital memerlukan tata aturan baru yang menjamin perlindungan, bukan sekadar efisiensi. Negara tidak boleh terus membiarkan hubungan kerja berlangsung dalam kabut hukum yang membiaskan tanggung jawab.
Massa boleh bubar. Ban boleh tak lagi terbakar. Tapi api perlawanan itu jelas belum padam. Dan suara mereka, jika terus dibiarkan tak terdengar, bisa menyala lebih besar dari yang dibayangkan.
***