
Oleh : Drs. D. Rusyono, M.Si.
Anggota Juang Kencana Kabupaten Kuningan
Secara sepintas, apabila mendengar istilah gender maka yang terbayang adalah laki-laki dan perempuan. Memang itu tidaklah salah karena secara kodrati/alami memang itu adanya, sebagaimana dalam konsep Islampun seperti itu: “Hai manusia, Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan dijadikan berbangsa-bangsa, bersuku-suku supaya saling mengenal” (Q.S Al-Hujurat : 13), sehingga bermakna bahwa Allah menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan dan saling berinteraksi satu sama lain sehingga munculah gender, dan Islam sangat menghargai/membolehkan kontruksi gender (perempuan berkiprah), asalkan tidak menjadi kebablasan.
Kemudian tidak sampai di situ, karena di balik itu terdapat banyak sekali aspek yang terkandung di dalamnya, karena gender sendiri lahir dari dan untuk kehidupan dalam bingkai keluarga/masyarakat/penduduk sebagai kesatuan yang utuh, kemudian bergulir dalam tumbuh kembang manusia (life cycle approach), dari mulai masa anak-anak hingga dewasa sampai membentuk keluarga baru, maka gender akan bergulir di dalamnya.
Gender sendiri adalah sebagai identitas dari individu yang didasarkan dari kontruksi nilai atau budaya termasuk perilaku dan mentalitas serta karakteristik emosional yang dihasilkan dari interaksi dalam masyarakat atau kontruksi sosial, sedangkan jenis kelamin bersifat kodrati dan permanen (KBBI, 2016). Adapun beberapa pengertian lain yang relefan tentang gender di antaranya adalah sebagai sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial dan kultural (Fakih, 2008). Jadi intinya gender adalah hasil interaksi dan bersifat berkembang/dinamis. Sedangkan beberapa dimensi dalam gender antara lain bentuk Responsif Gender yakni perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai dengan upaya untuk menghapus hambatan-hambatan yang ada baik secara struktural, maupun kultural guna mencapai keseteraan gender, kemudian keadilan dan keseteraan gender adalah perlakuan adil dan kesamaan kondisi antara laki-laki dan perempuan terhadap akses-akses yang bermanfaat (Permen PPPA No 3/2023).
Selanjutnya apalah arti sebuah pengertian, kalau tanpa tindak lanjut/implementasi dalam kehidupan agar menjadi bernilai manfaat bagi masyarakat, di mana prosesnya lebih dikenal dengan istilah Pengarusutamaan Gender (PUG), yakni proses yang dijalankan untk menggiring dan memasukkan aspek-aspek gender yang sebelumnya dianggap tidak penting menjadi penting ke dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan sebuah program kerja. Demikian pentingnya isu gender, maka diwajibkan bagi semua institusi pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang terkait di semua tingkatan termasuk perguruan tinggi sebagai turunan langsung dari Kementerian yang menangani pendidikan tinggi, sains dan teknologi (Kemdiktisaintek), untuk memasukkan program pengarusutamaan (PUG) Gender ke dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi menjadi sebuah kebijakan, program dan kegiatan. (Inpres No 9/2000).
Mengacu kepada Inpres tersebut, maka Universitas Bhakti Husada Indonesia (UBHI) selaku salah satu lembaga pendidikan tinggi dengan mayoritas disiplin keilmuannya bidang kesehatan sekaligus sebagai lokus dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka tampil terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan gender ini bahkan disertai dengan mencakup pemberdayaan perempuan di dalamnya. Karena sebagaimana tadi gender bergulir dalam totalitas kehidupan, keluarga, masyarakat dan penduduk.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi antara lain sebagai institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan, dengan prodi yang bersinggungan langsung dengan aspek gender, terlebih Prodi Kebidanan yang sangat bersentuhan langsung dengan nilai-nilai kegenderan. Kemudian visi dan misinyapun adalah “Menjadi penyelenggara pendidikan profesi bidan yang inovatif dan bermutu serta unggul dalam pelayanan keluarga yang berbasis gender pada tingkat Nasional tahun 2035”, dengan Misi menitikberatkan kepada pelayanan dan kemitraan yang berbasis gender yang juga dipadukan dengan tujuan yang menitikberatkan kepada aspek professional, kebermanfaatan dalam melayani masyarakat dengan cara sinergitas kemitraan.
Maka Setelah melalui pengkajian yang seksama serta forum-forum diskusi (FGD) baik internal maupun lintas stakeholder, maka diputuskan mengadakan Pusat Kajian Gender dan Perempuan sekaligus sebagai program unggulan di lingkup Prodi Kebidanan, dengan alur pikir (frame reference dan fild experience) gender ada dari dan untuk kehidupan dalam ikatan keluarga, masyarakat dan penduduk secara keseluruhan yang secara kodrati jenis kelamin laki-laki dan perempuan, kemudian di dalamnya terdapat peran/kefungsian masing-masing baik yang bersifat permanen (Nature) maupun yang berkembang (Nurture). Dalam perjalanan pemeranan/kefungsian tidak jarang terjadi persoalan baik secara intern/ekstern, antara lain muncul dalam bentuk dikotomi, peminggiran, pelabelan dan pelanggaran, sehingga upaya antisipasi yang dilakukan melalui Pengarusutamaan Gender (PUG), yang meliputi penggerakan/penyuluhan, penanganan/[endampingan serta koordinasi (lintas program/sektor), salah satunya adalah dengan DPPKBP3A Kabupaten Kuningan beserta UPTD PPPA.
Melalui kehadiran Pusat Kajian Gender dan Perempuan di UBHI sungguh sangat tepat, karena kebidanan identik dengan sosok/peran perempuan, tetapi secara sasaran lengkap dengan laki-laki dalam bentuk keluarga/masyarakat. Secara implementasi yang disodorkan oleh Pusat Kajian Gender mengarah kepada kegiatan konseling bagi layanan kesehatan keluarga/masyarakat, kemudian bentuk pelayanan yang dibutuhkan dalam lingkup kesehatan keluarga berbasis gender termasuk pendampingan (apabila terjadi kasus pelanggaran gender), lalu tahap pembinaan termasuk pemberdayaan, serta tahap dokumentasi dan pelaporan. Kesemuanya itu dilakukan dalam koridor responsif gender, artinya senantiasa memperhatikan aspek kalayakan/kepatutan dalam mengangkat harkat martabat kefungsian/pemeranan antara perempuan dan laki-laki. Contoh kecil dalam pelayanan KB, apakah sudah hasil keputusan bersama antara suami dan istri, syukur kalau suami yang ikut KBnya dengan MOP, kemudian apakah tempat pelayanannya aman dan nyaman, apakah privasi diri terjaga dan sebagainya.
Kemudian hal yang tidak kalah pentingnya adalah aspek administrasi karena sehebat apapun kegiatan apabila tanpa pencatatan dan pelaporan serta dokumentasi baik secara administratif maupun audio visual, maka akan menjadi sia-sia. Disamping itu juga tidak bisa lepas dari data, maka untuk kepentingan operasional/pelayanan, dapat menggunakan media/metoda Kuisioner Sarah Longwe yang cukup lengkap dalam merekam hak-hak perempuan (perkawinan, pendidikan, kesehatan, politik, ketenagakerjaan, kewarganegaraan, ekonomi dan sosial budaya).***