Perjalanan Pelaku UKM Cirebon, dari Sabun Herbal hingga Fesyen Berkelas

DI sudut Kota Cirebon, seorang perempuan tak henti-hentinya berinovasi. Yenny Prayogo, pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), terus mencari cara agar usahanya tetap bertahan dan berkembang, meski badai pandemi telah berlalu.
Melalui UKM yang dirintisnya dan masuk dalam daftar binaan BRI Cirebon, Yenny memulai usahanya dari sabun herbal hingga fesyen bernilai seni tinggi. Ia juga membuktikan bahwa kreativitas dan kolaborasi adalah kunci untuk bertahan dalam dunia usaha.
Perjalanan Yenny di dunia usaha dimulai pada 2017. Awalnya, ia hanya ingin membantu anaknya yang memiliki masalah kulit kering. Berulang kali mendatangi dokter untuk mendapatkan krim khusus membuatnya berpikir, “Mengapa tidak mencoba bahan alami?” Dari sana, lahirlah sabun herbal pertama racikannya.
Tanpa disangka, usaha kecilnya mulai menarik perhatian. Konsumen yang awalnya hanya teman dan keluarga, semakin bertambah. Seiring waktu, ia pun mengembangkan produknya dengan berbagai varian berbahan dasar herbal.
Namun, baru beberapa tahun berjalan, pandemi Covid-19 saat itu datang membawa tantangan baru. Saat banyak bisnis harus gulung tikar, Yenny terus memutar otak.
Ia beradaptasi dengan mengembangkan produk herbal kering seperti lemon, kunyit, jahe merah, temulawak, hingga sereh kering.
“Saat pandemi, pesanan herbal justru meningkat pesat,” ungkapnya, belum lama ini.
Inovasi lain pun lahir. Yenny merancang hampers herbal dengan harga terjangkau, dari Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu per toples. Keputusan ini terbukti tepat, karena banyak orang mencari produk kesehatan alami selama pandemi.
Setelah pandemi mereda, Yenny tidak berhenti berinovasi. Kali ini, ia menantang dirinya di dunia fesyen. Bersama rekan-rekan UKM, ia merintis sebuah produk unik berupa Ecotik, kombinasi antara ecoprint dan batik.
Ide ini muncul dari pengamatannya terhadap tren fesyen ecoprint yang tengah berkembang. “Saya ingin membuat sesuatu yang lebih khas, memadukan ecoprint dengan batik, warisan budaya Cirebon,” katanya.
Kolaborasi dengan Tim Desainer Alas Kelir, khususnya Rebecca Gracia Hartanto, semakin memperkaya inovasinya. Yenny bertanggung jawab pada motif ecoprint dan batik, sementara Rebecca mengembangkan desain pakaian. Mereka pun menciptakan busana dengan sentuhan seni yang tinggi.
“Untuk ecoprint, saya menggunakan daun kersem, daun gulma, dan tanaman liar di sekitar rumah. Sedangkan batiknya, saya buat sendiri dengan teknik tulis,” ujar Yenny.
Hasilnya? Produk Ecotik langsung menarik perhatian. Beberapa desain pertama mereka dipajang di Mall UKM dan langsung terjual. Bahkan, produk ini berhasil dipamerkan dalam ajang Inacraft, salah satu pameran kerajinan terbesar di Indonesia.
Membawa Ecotik ke Level Berikutnya
Keunikan Ecotik tidak hanya terletak pada teknik pembuatannya, tetapi juga pada bahan yang digunakan. Selain kain katun, mereka telah mencoba membuat desain pada bahan bridal, sutera, organdi, hingga sifon.
“Kami ingin membawa Ecotik ke ranah yang lebih eksklusif, termasuk ke fesyen pengantin,” kata Rebecca. Tak hanya sekadar wacana, produk mereka sudah diuji coba dan mendapatkan respons positif.
Dengan harga mulai dari Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung tingkat kesulitan dan bahan yang digunakan, Ecotik kini menjadi simbol inovasi UKM Cirebon yang menggabungkan kreativitas, tradisi, dan keberlanjutan.
Bagi Yenny, perjalanan ini adalah bukti bahwa inovasi dan kolaborasi adalah kunci bertahan di dunia usaha. Dari sabun herbal hingga fesyen eksklusif, ia terus membuktikan bahwa UKM bisa tetap eksis dan berkembang, bahkan di tengah tantangan global.
“Dulu saya hanya ingin mencari solusi untuk anak saya. Sekarang, saya ingin menginspirasi orang lain untuk berani mencoba, berinovasi, dan tak pernah berhenti belajar,” tutup Yenny dengan senyum penuh semangat.(Mail)