Ketidakpastian Hasil Open Bidding Sekda Kuningan: Antara Meritokrasi dan Kepentingan Politik
Ketidakpastian Hasil Open Bidding Sekda Kuningan: Antara Meritokrasi dan Kepentingan Politik
Oleh: Ikhsan Marzuki
Inisiator Gerakan KITA
Proses seleksi terbuka atau Open Bidding (OB) untuk jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kuningan kini berada di persimpangan jalan. Meskipun telah melalui prosedur resmi dan menghasilkan tiga nama kandidat terbaik, hasil seleksi ini hingga saat ini masih menggantung tanpa kejelasan. Penjabat (Pj) Bupati yang menggelar OB sebelumnya menghadapi tekanan politik yang berujung pada pencopotannya, sementara bupati terpilih yang kini menjabat juga belum mengambil keputusan terkait hasil seleksi tersebut.
Situasi ini memunculkan sejumlah pertanyaan fundamental: Apakah ada batas waktu penetapan hasil OB? Apakah menunda atau bahkan mengabaikan hasil OB melanggar aturan? Bagaimana nasib peserta yang telah dinyatakan lolos? Dan yang lebih krusial, apakah faktor politik dan kepentingan personal lebih dominan dibanding prinsip meritokrasi dalam birokrasi?.
Pelaksanaan OB Sekda merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan, yang menegaskan bahwa pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) harus dilakukan secara transparan, objektif, dan berbasis kompetensi. Dalam konteks ini, Pemda Kuningan sudah menjalankan kewajibannya dengan melaksanakan OB sebelum Pilkada.
Namun, keberatan dari dua partai politik yang menganggap proses ini dipaksakan menjadi faktor pemicu polemik. Tekanan politik ini berujung pada pencopotan Pj Bupati, dan sejak saat itu, hasil OB yang telah dihasilkan seakan tak bertuan. Beredar dugaan bahwa hasil OB tidak ditetapkan karena kandidat yang lolos tidak sesuai dengan preferensi bupati terpilih. Jika hal ini benar, maka ini menjadi preseden buruk bagi sistem meritokrasi, di mana jabatan strategis seharusnya diberikan kepada individu yang lolos seleksi berdasarkan kapabilitasnya, bukan karena faktor kedekatan atau kecocokan personal dengan kepala daerah.
Secara regulasi, tidak ada batas waktu eksplisit yang mengharuskan kepala daerah segera menetapkan hasil OB. Namun, hal ini bukan berarti kepala daerah boleh membiarkan hasil seleksi menggantung tanpa kepastian hukum.
Dalam PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan perubahannya dalam PP No. 17 Tahun 2020, dijelaskan bahwa seleksi JPT harus berlandaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Menunda tanpa alasan jelas bisa dianggap sebagai bentuk maladministrasi, bahkan bisa berujung pada gugatan hukum.
Selain itu, hasil seleksi JPT biasanya dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang memiliki kewenangan untuk mengawasi proses ini agar tetap berpegang pada prinsip meritokrasi. Jika ada indikasi bahwa hasil OB sengaja diabaikan karena faktor politik atau kepentingan personal, maka KASN bisa turun tangan.
Peserta OB yang merasa dirugikan karena hasil seleksi mereka tidak ditindaklanjuti berpotensi mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka bisa menggugat berdasarkan beberapa alasan, yaitu adanya keputusan yang seharusnya dikeluarkan, tetapi tidak dilakukan oleh pejabat berwenang, kerugian akibat ketidakpastian status hasil seleksi yang menggantung, dan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum dan asas keadilan dalam birokrasi.
Sejumlah kasus serupa di berbagai daerah menunjukkan bahwa PTUN bisa saja memenangkan gugatan peserta OB jika terbukti bahwa kepala daerah sengaja menunda atau mengabaikan hasil seleksi tanpa alasan sah. Jika ini terjadi di Kuningan, maka Bupati Terpilih akan menghadapi implikasi hukum dan administratif yang bisa mencoreng reputasi pemerintahannya.
Agar tidak menabrak aturan dan menghindari gugatan PTUN, Bupati Terpilih sebaiknya segera mengambil langkah konkret dalam menangani hasil OB Sekda. Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan adalah konsultasi dengan KASN dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jika Bupati Terpilih memiliki alasan tertentu untuk tidak menetapkan hasil OB, maka alasan tersebut harus dikonsultasikan dengan lembaga yang berwenang agar tidak melanggar regulasi, meninjau kembali hasil OB secara objektif. Jika tidak ada cacat prosedural dalam proses seleksi, maka hasil OB sebaiknya segera ditetapkan untuk menghindari ketidakpastian birokrasi, menghindari keputusan yang berbasis subjektivitas. Jika ada indikasi bahwa penundaan disebabkan oleh faktor ketidaksukaan terhadap peserta yang lolos, maka hal ini berpotensi menjadi masalah hukum dan politik yang merugikan pemerintahan bupati terpilih, segera mengumumkan sikap resmi terhadap hasil OB. Jika hasil OB tidak akan digunakan, maka harus ada alasan hukum yang jelas, disertai mekanisme alternatif yang tidak bertentangan dengan regulasi, membuka komunikasi dengan peserta OB yang lolos. Hal ini penting agar tidak ada kesan bahwa hasil seleksi diabaikan begitu saja, yang dapat memicu ketidakpercayaan terhadap sistem birokrasi daerah.
Kasus ini menjadi cerminan bagaimana politik dapat berpengaruh terhadap sistem seleksi pejabat di tingkat daerah. Jika meritokrasi terus dikalahkan oleh kepentingan politik, maka profesionalisme birokrasi akan semakin tergerus.
Bupati terpilih memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga netralitas dan profesionalisme dalam pemerintahan. Jangan sampai keputusan yang diambil justru membuka celah bagi gugatan hukum yang bisa merugikan citra pemerintahannya sendiri. Yang dibutuhkan saat ini bukan tarik-menarik kepentingan, tetapi kepastian hukum dan ketegasan dalam menjalankan aturan. Saatnya membuktikan bahwa birokrasi daerah bukan sekadar ajang bagi kepentingan politik, tetapi wadah bagi profesionalisme dan pelayanan publik yang berkualitas. ***