Cap Go Meh: Warisan Budaya Tionghoa yang Membawa Keberkahan dan Kebersamaan

Oleh: Hetta Mahendrati Latumeten
Pemerhati Budaya Tionghoa
Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya, keberagaman, dan tradisi yang menyatukan berbagai etnis, agama, dan suku dalam satu semangat kebangsaan. Salah satu perayaan yang mencerminkan nilai-nilai persatuan ini adalah Cap Go Meh, sebuah tradisi Tionghoa yang telah berkembang dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di berbagai kota, termasuk Cirebon.
Cap Go Meh bukan sekadar perayaan, melainkan simbol kebersamaan dan keberuntungan bagi semua orang, tanpa memandang asal-usulnya. Semangat berbagi kebaikan dan menjalin harmoni antarwarga harus menjadi bagian dari setiap perayaan budaya, agar kita semakin kuat sebagai bangsa yang bersatu.
Cap Go Meh merupakan perayaan yang dilakukan pada hari ke-15 setelah Imlek, menandai berakhirnya rangkaian perayaan Tahun Baru Tionghoa. Secara harfiah, “Cap Go Meh” berasal dari dialek Hokkian yang berarti “malam ke-15”.
Tradisi ini berakar dari Dinasti Han (206 SM – 220 M), ketika Kaisar Han Wudi menetapkan festival lentera sebagai penutup perayaan Tahun Baru Imlek. Sejak saat itu, Cap Go Meh menjadi waktu untuk bersyukur, berbagi rezeki, dan mempererat tali persaudaraan.
Dalam perayaannya, masyarakat Tionghoa menggelar berbagai ritual, mulai dari sembahyang di kelenteng dan vihara, arak-arakan patung dewa (Tangsin), hingga pesta rakyat yang penuh sukacita. Makna utama Cap Go Meh adalah menyebarkan keberuntungan, harapan baik, dan kebersamaan dalam masyarakat.
Seiring penyebaran masyarakat Tionghoa ke berbagai belahan dunia, Cap Go Meh kini dirayakan secara luas di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa kota yang telah berhasil mengembangkan Cap Go Meh menjadi atraksi wisata budaya, antara lain Singkawang (Kalimantan Barat) di mana dikenal dengan ritual Tatung, di mana peserta menunjukkan kekuatan spiritual mereka melalui berbagai atraksi mistis, Jakarta, Semarang, dan Medan di mana perayaan Cap Go Meh dipadukan dengan festival budaya yang menarik ribuan wisatawan, Malaysia, Singapura, hingga Amerika Serikat di mana Cap Go Meh tidak hanya menjadi perayaan masyarakat Tionghoa, tetapi juga dirayakan oleh masyarakat luas sebagai bentuk penghormatan terhadap keberagaman budaya.
Bagaimana dengan Cirebon? Apakah kota ini siap untuk menjadikan Cap Go Meh sebagai daya tarik wisata dan simbol keberagaman?
Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, Cirebon berdiri sejak tahun 1445 M, didirikan oleh Pangeran Cakrabuana, putra dari Prabu Siliwangi. Sejak awal, Cirebon telah menjadi pusat pertemuan berbagai budaya, mulai dari Sunda, Jawa, Tionghoa, hingga Arab.
Kota ini berkembang pesat karena posisinya sebagai pelabuhan dagang di pesisir utara Jawa, yang menghubungkan jalur perdagangan internasional. Akibatnya, Cirebon menjadi tempat bertemunya berbagai komunitas yang hidup berdampingan dengan damai.
Salah satu bukti kuat keberadaan komunitas Tionghoa di Cirebon adalah keberadaan vihara dan kelenteng yang telah berdiri selama ratusan tahun, antara lain Vihara Dewi Welas Asih yang merupakan salah satu vihara tertua di Cirebon yang menjadi pusat ibadah masyarakat Tionghoa, Vihara Cung Fu Kung di mana tempat ibadah yang juga sering dikunjungi oleh masyarakat Tionghoa, terutama saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh, Vihara Bhakti Mulia yang berada di kawasan pecinan Cirebon, vihara ini sering menjadi pusat kegiatan spiritual dan budaya, Vihara Dharma Rakhita, tempat ibadah yang menjadi bagian dari kehidupan komunitas Tionghoa di Cirebon, Vihara Vajra Bumi Kertabumi yang terletak di kawasan Panjunan yang dikenal dengan komunitas Tionghoa-Muslim, mencerminkan akulturasi budaya yang khas di Cirebon.
Sebagai kota dengan keberagaman budaya Caruban, Cirebon memiliki peluang besar untuk mengembangkan Cap Go Meh sebagai agenda wisata tahunan. Dengan dukungan dari pemerintah, komunitas Tionghoa, dan masyarakat luas, Cirebon bisa menjadi destinasi wisata budaya yang menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menjadikan Cap Go Meh sebagai ikon wisata di Cirebon antara lain mengadakan festival budaya multikultural yang menggabungkan unsur budaya Tionghoa, Sunda, dan Arab, meningkatkan infrastruktur wisata, termasuk transportasi dan akomodasi bagi wisatawan, mempromosikan Cap Go Meh sebagai daya tarik utama, sebagaimana yang dilakukan oleh Singkawang, melibatkan UMKM lokal dan ekonomi kreatif dalam penyelenggaraan festival, sehingga semua masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi.
Jika hal ini berhasil, bukan tidak mungkin Cap Go Meh di Cirebon bisa menjadi festival tahunan yang mendunia.
Perayaan Cap Go Meh bukan hanya untuk masyarakat Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang perlu kita lestarikan bersama. Dalam keberagaman, kita menemukan kekuatan untuk membangun kota yang lebih baik, masyarakat yang lebih harmonis, dan bangsa yang lebih maju.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 tentang Kebudayaan Nasional, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan budaya bangsa. Dengan pendekatan inklusif dan semangat gotong royong, Cirebon bisa menjadi contoh nyata bagaimana budaya bisa menjadi alat pemersatu bangsa dan motor penggerak ekonomi daerah.
Mari bersatu, berbagi kebaikan, dan bersama membangun Cirebon yang lebih maju!***