Filsafat Mimpi dalam Ajaran Berkurban

Oleh: H. Muhamad Jaenudin, S.Ag. MH.
Kepala KUA Kec. Pancalang
MENURUT para ahli filsafat, mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat.
Tidak banyak filosof yang membahas mimpi, mungkin karena filsafat masih mendasarkan pada nalar dan fikiran, sementara mimpi terjadi di luar nalar dan pikiran.
Diantara filosof Islam yang membahas tentang mimpi adalah Ibnu Arobi. Analisa filsafat Ibnu Arobi tentang mimpi dimulai dengan pernyataannya bahwa apapun yang kita lihat, rasakan, dengarkan, dan semua kita yang saling bertatapan saat ini adalah “mimpi”. Tentu Ibnu Arobi tidak asal bicara, sebagai seorang literalis, ia berpijak pada hadis Rasul SAW: “Annasu niyamun idza maatuu intabahuu” yang berarti semua manusia tidur, barulah terbangun setelah mereka mati.
Sebuah analisa Nabi SAW tentang kehidupan dengan bahasa falsafi yang tinggi itu telah menggandengkan antara kehidupan ini dengan mimpi. Bukankah kehidupan ini penuh misteri. Mulai dari asal usul keberadaan alam semesta dan manusia, Perjalanan panjang dari alam lahut, alam malakut, alam nasut, dan akan seperti apa alam dan manusia ini nanti ketika kehancuran masal (hari kiyamat) nanti. Semua diliputi banyak misteri sama seperti mimpi yang penuh teka-teki.
Karenanya tidaklah berlebihan jika hidup ini hanyalah mimpi. Rasul SAW telah mempersandingkan Kehidupan dengan mimpi. Bahkan mimpi sering kali menjadi jembatan yang menghubungkan alam bawah sadar dengan sesuatu yang nyata.
Setidaknya hal itu yang membuktikan pada apa yang dialami Nabi Ibrohim AS. Peristiwa ritual ibadah qurban erat kaitannya dengan mimpi Ibrahim AS.
Dalam Kitab Durrotunnasihin karangan Imam Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir al-Khobariy dikisahkan bahwa Ibrahim As. Yang telah lama menikahi Sarah tak kunjung jua dikaruniai anak. Suatu saat Ibrahim menyembelih 1000 ekor kambing dan 300 ekor sapi yang dagingnya semua ia bagikan kepada para fakir miskin.
Semua orangpun berdecak kagum. Lalu Ibrahim As. berkata dengan bangga “semua yang saya lakukan itu belum seberapa, jangankan kambing dan sapi, anak pun kalau seandainya disuruh Allah untuk diqurbankan, saya akan qurbankan”. Ibrahim tidak sadar rupanya kata-kata ini dicatat Malaikat sebagai sebuah nadzar.
Maka ketika Ibrahim menikah lagi dengan Siti Hajar dan dikarunia anak yang lucu bernama Ismail As., dan saat Ismail tumbuh remaja tiba-tiba Ibrahim suatu malam bermimpi, ia dipanggil sebuah suara, “Ya Ibrahim tunaikanlah nadzarmu!” keesokan harinya Ibrahim As. sangat terganggu dengan mimpinya.
Hati dan pikirannya terus dihinggapi sebuah pertanyaan, apakah mimipi itu dari Allah atau dari Syetan?. Maka hari itu diabadikan dalam ritual ibadah haji sebagai “hari tarwiyah” yang secara garamatikal berarti “hari mimipi”. Hari tarwiyah dalam ritual haji dikenal sebagai hari kedelapan Dzulhizzah sebagai hari bersiap-siap untuk mempersiapkan perbekalan menjelang wukuf di Arofah.
Setelah melewati hari tarwiyah, malam harinya Ibrahim As. kembali bermimpi hal yang sama, maka keesokan harinya barulah ia “tahu” bahwa mimpi itu berasal dari Tuhannya. Maka Hari itu dikenal dengan hari Arofah yang secara gramatikal Arofah adalah kata tempat (isim makan) dari kata kerja (fiil) ‘arofa-ya’rifu yang berarti “tahu”. Artinya adalah Ibrahim tahu bahwa itu adalah mimpi yang benar (ar-ru’ya ash-shodiqoh) Dalam ritual haji hari Arofah adalah hari ke sembilan Dzulhijjah, pada hari ini Jamaah haji melakukan wukuf di Arofah sambil merenung dan ber-muhasabah tentang hidup dan kehidupan ini.
Sebagai seorang Nabi yang derajat ma’rifat (daya mengenal Tuhan), Ibrahim As. akhirnya sampai pada sebuah keyakinan bahwa mimpinya adalah sebuah perintah Allah yang harus disikapi dengan sami’na wa’tho’na (dengar dan taati). Dan di malam ketiga Ibrahim As. kembali bermimpi dengan hal yang sama. Hingga keesokan harinya ia bulat hati dengan keputusan akan mengurbankan buah hatinya Ismail pada hari itu. Maka hari itu dinamai hari “Nahar” yang secara gramantikal artinya adalah hari penyembelihan.
Ada beberapa nilai luhur peristiwa qurban yang sangat urgen kita terapkan dalam konteks kekinian. Salah satu nilai yang paling menarik dikritisi adalah arruya ashodiqoh atau mimpi yang benar. Sebuah Hadits Sohih yang artinya, “Mimpinya seorang Nabi Adalah Wahyu”. Dalam studi teantang Ilmu-Ilmu Alqur’an (Ululmul Quran) diketahui bahwa metode-metode penurunan wahyu adalah Selain Ibrahim as. yang menerima wahyu lewat arruya ashodiqoh adalah Yusuf As. Yang bisa menyingkap takwil sebuah mimpi.
Inilah “sinyal ilahiyah” yang bisa ditangkap oleh Nabi Yusuf As. ketika orang lain tidak bisa mentakwilkan mimpi sang raja melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh sapi betina yang kurus, dan tujuh tangkai gandum yang hijau dan tujuh tangkai lainnya yang kering.
Dan ketika Yusuf as. mampu mentakwilkan mimpi itu, ia mengatakan, “Itulah sebagian dari yang diajarkan Tuhan kepadaku.”
Atas dasar inilah Filosof Islam Ibnu Arobi mengatakan bahwa Nabi Yusuf tidak bisa dibandingkan dengan Nabi Muhammad. Hal ini disebabkan Nabi Muhammad sejak awal telah mengatakan bahwa manusia ini tertidur dan sedang bermimpi. Mimpinya pun bermacam-macam. Ada yang bermimpi (sedang) jadi presiden, meski kelihatannya jadi presiden. Namun, kata Ibn Arabi, mimpi kita ini bukanlah mimpi palsu, ilusi atau tanpa makna. Menurutnya ini adalah mimpi di dalam mimpi. Siapakah yang mimpinya di dalam mimpi?. Orang yang mimpinya benar seperti para nabi yang melihat arruya ashodiqoh.
Menurut Ibn Arabi, maqam (kedudukan spiritual) Nabi Yusuf di bawah Nabi Muhammad. Mengapa? Karena Nabi Yusuf masih ingin mengetahui mimpi di dalam mimpi. Sementara Nabi Muhammad telah mengatakan bahwa semua ini adalah mimpi. Dan takwil mimpi kita akan terungkap setelah kita mati, yakni ketika kita semua terbangun ke alam yang lain.
Tidak semua orang mampu menerjemahkan dan menangkap pesan yang disampaikan Allah dalam arruya ashodiqoh. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa terus mengasah kedekatan kita kepada Sang Maha Pencipta.
Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman “Ketika Aku mencintai hamba-Ku, pendengaran-Ku akan menjadi pendengarannya, dan penglihatan-Ku akan menjadi penglihatannya.”.
Untuk itu pesan moral dari qurban harus kita pegang. Secara etimologis qurban artinya dekat. Berqurban berarti segala upaya dalam tangka mendekatkan diri kepada Sang Kholik. Ismail adalah simbol tentang apa yang kita sangat cintai dalam hidup ini.Sebagai mana Ibrahim rela mengorbankan anak yang sangat dicintainya, maka begitulah kita seharusnya mau mengorbankan hal yang kita cintai. Maka “Ismail” jaman sekarang bisa berbentuk rumah megah, mobil mewah, kekayaan dan jabatan. Mestinya kita mampu berkorban dengan semua, karena apa yang kita punya hanyalah nisbi. Di alam mimpi. Waalu ‘alam bissawwab.***