Korupsi Pajak Desa dan Krisis Kepercayaan

PENAHANAN empat pendamping desa di Kabupaten Cirebon atas dugaan korupsi pajak APBDes menjadi tamparan keras bagi tata kelola pemerintahan desa.
Kasus ini bukan sekadar soal penyalahgunaan kewenangan, melainkan juga cermin rapuhnya sistem pengawasan keuangan desa yang selama ini lebih mengandalkan rasa saling percaya daripada kontrol ketat.
Modus operandi yang dilakukan para pendamping desa menunjukkan pola sistematis. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan perangkat desa terkait administrasi pajak untuk menyelewengkan dana hingga miliaran rupiah.
Dari perspektif hukum, tindakan ini jelas melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terutama Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, yang mengatur perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara.
Lebih jauh, perkara ini menyingkap persoalan serius dalam tata kelola desa. Sejak lahirnya Undang-Undang Desa, aliran dana ke desa meningkat tajam. Namun, kesiapan sumber daya manusia dan sistem akuntabilitas sering kali tertinggal.
Hal ini memberi celah bagi pihak-pihak yang seharusnya mendampingi, justru berubah menjadi pelaku penyalahgunaan. Kasus ini juga harus menjadi momentum memperkuat instrumen pengawasan.
Kepercayaan tidak cukup tanpa dibarengi dengan transparansi dan mekanisme kontrol yang berbasis digital serta melibatkan partisipasi publik.
Hukum memang akan menjerat pelaku, namun pencegahan adalah langkah yang lebih utama.
Kita mendukung langkah Kejaksaan Negeri Cirebon yang berani menindak tegas, sekaligus berharap penyidikan tidak berhenti pada empat orang pendamping.
Jika ada aktor lain yang terlibat, hukum harus berlaku setegaknya. Karena hanya dengan keadilan hukum yang konsisten, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dan desa dapat dipulihkan.***