Opini

Bagaimana Kabar Puisi Hari Ini?

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UINSSC

“Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Begitulah Chairil mengemukakan keinginan hidupnya yang tinggi. Meski ia adalah binatang jalang, peluru menembus kulitnya. Chairil lebih memilih menerjang walau ia meradang dan membawa luka itu, berlari sampai hilang pedih perih.
Chairil Anwar menghembuskan nafas terakhir pada 28 April 1949, yang kemudian diperingati Hari Puisi Nasional, ditentukan pada 22 November 2012 oleh sekelompok sastrawan. Diprakarsai oleh Sutardji Calzoum Bachri selaku Presiden Sastrawan Indonesia. Wafatnya Sang Penyair bukan membawa duka semata, melainkan nyala api membara. Di zaman sekarang semua hal mulai terdigitalisasi, termasuk puisi Chairil Anwar. Oleh karena itu, esai ini mengajak kita semua merenungkan: masihkah puisi bertahan di tengah dunia digital yang serba cepat ini? Perlukah kita berhenti sejenak untuk menghayati sajak Sapardi tentang “Hujan Bulan Juni”? Bisakah kita bernapas, melihat langit, sembari mengingat puisi Jokpin tentang “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya” yang khas itu?
Abad 21, sebuah era yang menawarkan tatanan baru, Cyber Society. Manusia tidak hanya hidup di rumah, sekolah, masyarakat. Manusia kini hidup di WhatsApp, Facebook, dan Instagram. Kita bisa berbincang dengan saudara di Amerika tanpa perlu menunggu lama. Hanya ketikan-kirim, kabar sudah sampai. Manusia sekarang punya dua kehidupan, luring dan daring. Karena manusia adalah penghasil budaya, di manapun berada, manusia meninggalkan jejak pikiran-tindakan-kepercayaan. Salah satu kebudayaan manusia yaitu puisi. Puisi sudah gemar disukai manusia sejak silam. Bagi muslim, puisi-puisi terbaik adalah firman Tuhan, sabda nabi, dan sajak sahabat.
Kalian tidak akan asing dengan kalimat “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.” kalimat itu keluar dari mulut Ali bin Abi Thalib. Dan faktanya, kalau kondisi kita sedang kecewa, niscaya kata bijak itu segera terpampang di status WhatsApp. 4 kata, namun kaya makna. Kalimat itu tidak banyak bicara. Malah mampu menjelaskan sekelumit persoalan manusia. Dulu kata bijak, seperti tadi hanya didapat di buku dan majalah. Sekarang puisi bertebaran di mana-mana, bahkan ada yang menjadikannya bio Instagram atau foto profil WhatsApp.
Puisi kini tidak dinikmati oleh beberapa kalangan yang ber-uang saja. Yang mampu membeli buku atau melihat pembacaan puisi di pertunjukkan. Rakyat miskin juga bisa baca puisi asal punya ponsel dan sedikit kuota. Puisi yang biasanya kita baca saat hati perih, bisa kita baca terserah kita. Puisi menjelma obat gelisah nan pelipur luka. Kemudian pertanyaan muncul? Lebih baik mana, zaman dahulu atau sekarang untuk menikmati puisi?

Sama seperti hidup yang tiap nafasnya masalah. Cyber Space juga terdampak. Tidak beda dengan kenyataan. Asalkan ada manusia, di situ timbul masalah. Era Covid-19, pergeseran brutal budaya manusia. Karena lockdown, mulanya kita bersosialisasi. Semenjak pandemi kita terpaksa hidup lewat sosial media. Efek menggunakan sosial media sebagai rutinitas adalah “Overwhelm” (Informasi yang terlalu banyak). Kita tidak punya waktu untuk merenung. Menanggapi sesuatu. Semua kabar masuk. Kita jadi pusing. Puisi mulai kehilangan makna, ia sudah usang, tidak bisa membikin jiwa manusia tenang (Lagi).
Jadi, dengan tersebar luasnya puisi, membuat puisi itu kurang bermanfaat? Puisi tidak lagi jadi pelarian kita. Pelarian kita saat ini adalah menonton video di sosial media. Cukup terhibur dan beban hidup berkurang. Seharusnya semua beban itu harus dilihat, dicermati, dan kontemplasi. Bukan dibuang begitu saja. Puisi, ialah yang jadi kontemplasi kita soal beban hidup. Keresahan Sapardi tentang mencintai perempuan, ia tulis menjadi puisi yang ternyata tidak sederhana.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”
Sapardi merekonstruksi perasaannya. Bertanya kembali, aku ingin mencintai wanitaku seperti apa? Sungguh paradoksal dan kontradiksi. Puisi menjadi murah dan gratis. Membuat puisi hanya sekelebat kata yang terlalu puitis, kata orang. Hidupnya bukan diisi oleh cinta, melainkan harta dan tahta. Mampukah kita berhenti sejenak, memikirkan soal tokoh puisi Jokpin yang teleponnya rusak. Di teleponnya ada satu kontak yang belum pernah ia sapa, yaitu kontak Tuhan. Apakah hanya Jokpin saja yang seperti itu? Atau itu adalah kita?
Masalah puisi tenggelam informasi. Terbenam oleh jedag-jedug velocity. Harus dilakukan treatment khusus. Yang pertama Digital Minimalisme dan Slow Living. Isi dunia sudah ada di tangan kita, di dalam ponsel. Lantas buat apa membatasi diri perkara teknologi? Penulis sudah mengumpulkan masalah akibat penggunaan sosial media, yang bisa diselesaikan oleh minimnya penggunaan gadget dan berdiam diri. Masalah online kita seperti; Doomscrolling (scroll terus menerus); Mindless Browsing (browsing tanpa tujuan); dan Digital Distraction (distraksi digital). Satu jam, dua jam terbuang sia-sia hanya karena menonton Youtube Shorts dan Reels IG. 2022 sekitar 68% Doomscrolling dilakukan di satu hari.
Masuk Google, bukannya mencari hal penting justru tergoda discover. 2020 penelitian Nielsen Group, ada 37% orang browsing tanpa tujuan.Saat mengobrol, belajar, atau olahraga. Sedikit-sedikit buka ponsel; melihat apa ada pesan; melihat notif; memeriksa sosial media. Kenyataannya nihil, kamu tidak sepenting itu. Bahkan menurut RescueTime 2019, pekerja kantoran mengecek ponsel 58 kalo sehari. Ternyata tidak ada apa pun di sana, faktanya mengecek ponsel sudah sah jadi bagian kebiasaan.
Secara keseluruhan, menurut Studi Global 2021: 20-30% populasi dunia mengalami penggunaan ponsel bermasalah. Fokus hilang, menderita gangguan mental, membuang waktu, tidak bisa menjaga interaksi. Apalagi yang mesti kita banggakan soal aktivitas sosial media kita? Nol besar. “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak nampak”, begitulah kita.

Digital Minimalisme merupakan obat untuk kesadaran digital. Sebelum membuka aplikasi, hendaknya kita bertanya. Untuk apa saya membuka aplikasi ini? Apakah saat saya membuka ponsel akan membuat diri saya berkembang atau malas-malasan? Apakah aplikasi ini menunjang hidup saya atau menghambat?
Dengan kesadaran itu, pastilah tidak mudah untuk membuka sosial media. Ini bukan perkara mudah, semua butuh kebiasaan. Kita juga sudah 2 tahun dipaksa terbiasa melek digital karena Covid. Maka dari itu, kita juga harus berani bangun kesadaran digital untuk masa depan dan dalam konteks esai adalah puisi. Setelah satu persatu mulai berjalan, sekarang belajar berdiam diri. Jangan memegang apapun, tidak boleh mikir. Hanya diam dan atur nafas. Secara otomatis akan banyak kenangan dan peristiwa lalu yang akan kita ingat. Alangkah baiknya jika ditulis, bisa kita buat jurnal bersyukur. Sembari diam, tenang, tidak overthinking dan menahan kecemasan. Coba ucapkan kalimat ini berulang kali, “Semua ini akan berlalu”.
Sebuah syair yang diminta Khalifah Harun Ar-Rasyid pada ulama di zaman Dinasti Abbasiyah. Dengan mengerti hal itu, mungkin sekarang kita sudah siap membaca dan merenungi semua puisi karya penyair tanah air.Di tengah dunia yang gemetar dan tergesa. Puisi tetap berbisik di sela nafas yang bernyawa. Meski layar menyilaukan dan jari-jari lupa bersapa. Di ruang sunyi, sajak masih setia menjaga jiwa.***

Related Articles

Back to top button