Modernisasi terhadap Peribadatan
Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UINSSC
Modernisasi jadi kalimat yang membuka gerbang ke zaman digitalisasi. Dengan segala kebaruan, manfaat, dan dampaknya; modernisasi membawa semua manusia ke arah kemajuan. Mungkin tidak hanya membawa, menyeret mereka dan mengatakan “Jika tidak ada yang dapat mengikuti, mereka akan ditinggalkan.”
Kita semua begitu, bukan? Dibuktikan dengan istilah Fear of Missing Out. Khawatir tertinggal sesuatu yang ada di jagat maya (ruang digital). Manusia menikmati semua hal itu, terkesima, dan kecanduan menggunakannya. Hingga mereka kadang lupa bahwa ada Tuhan di balik ini semua.
Ada praktik, kegiatan, dan ritual keagamaan yang harus dilakukan demi berbagai alasan: ketenangan, iman, dan lain-lain. Tetapi, cara lama itu tidak selalu berhasil di zaman yang mengunggulkan kecepatan ini. Manusia telah beradaptasi selama Covid, mereka ingin lebih cepat dan lebih banyak.
Esai ini akan membahas dampak modernisasi yang sebegitu dalamnya terhadap partisipasi seseorang melakukan peribadatan.
Asal usul beban kerja yang membebankan itu akibat dari adanya efisien waktu yang dilakukan oleh teknologi. Argumen ini didukung oleh jurnal Government Information Quarterly tahun 2025. Mengapa efisien waktu jadi menimbulkan masalah beban kerja? Karena ekspetasi orang yang sudah berubah. Kalau dibayangkan, ada pegawai di balai desa. Tanpa teknologi pekerjaannya bisa memakan waktu 4 jam, ketika ada teknologi, waktu itu dipangkas jadi 2 jam. Begitu juga kerja pegawai-pegawai yang lain, hal yang semula rumit menjadi mudah. Tetapi, kemudahan itu menjadi racun. Supaya tidak makan gaji buta, jam kerja yang tersisa dipergunakan untuk follow. Akhirnya tugas pegawai jadi lebih dalam, rumit, dan membutuhkan ketelitian. Itu semua membuat stress dan dari sini dimulai semuanya.
Jurnal Social Inidcators Research (2009) mengemukakan bahwa orang yang memiliki jam kerja tinggi, sulit sekali berpartisipasi dalam praktik keagamaan. Meskipun jurnal ini diterbitkan tahun 2009 dan subjeknya itu amerikan, tetap relevan hingga sekarang karena dunia sudah menyatu, akibat globalisasi dan digitalisasi.
Dosen Komunikasi Antarbudaya penulis pernah mengemukakan: Negara berkembang kelak akan menyusul negara maju. dan penulis kira, itu benar, dan terjadi di Indonesia yang mengikuti Amerika, secara tidak langsung. Di Indonesia kini, banyak sekali yang memiliki waktu kerja lebih dari 8 jam. Delapan jam kerja itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan saja, jika mau “berkembang” taraf hidupnya, terpaksa mencari pekerjaan lain. Semakin sibuk, dampaknya semakin lelah dan tidak bisa meluangkan waktu untuk beribadah. Mengutip dari jurnal tersebut, benarlah adanya bahwa beban kerja membuat kita sulit untuk beribadah: dan itu terwujud di zaman modern ini.
Pernyataan itu didukung oleh jurnal National Library of Medicine (2024), stress yang didapatkan dari pekerjaan membuat sulit konsentrasi dan komitmen untuk melakukan praktik keagamaan. Jumlah jam kerja memiliki hubungan sama dengan stress kerja, semakin banyak jam kerja, semakin stress lah manusia, dan semakin sulit untuk melaksanakan ibadah.
Untuk menambahkan konteks ke-Indonesiaan, jurnal Ilmiah Ekonomi Islam (2023-2024) pun mengatakan hal yang sama “Semakin lama bekerja dalam sehari, semakin besar kemungkinan individu tidak berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan.”
Sama seperti hukum setara, stres yang besar harus dibayar dengan hiburan yang setara. Katakanlah stres selama 8 jam kerja, maka hiburannya pun harus 8 jam. Hal itu yang mendorong seseorang mencari hiburan, sebab stress yang dialaminya tidak bisa diproses secara otomatis (akibat beban dan ekspetasi yang tinggi). Kenyataan ini didukung oleh jurnal National Library of Medicine tahun 2014.
Hiburan yang dicari untuk merelakan stres—dalam konteks modernisasi—adalah scrolling media sosial, dibuktikan oleh jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking (2022-2024). Ditarik tafsir, para pegawai pulang kerja. Beban di pundaknya amat berat dan kepalanya berdenyut. Apa yang mereka lakukan? Membuka media sosial dan bergulir terus hingga doom scrolling.
Ihwal semacam itu, penggunaan media sosial yang massif untuk menghilangkan stress. Berakibat terhadap manusia yang kurang berpartisipasi di ruang-ruang agama; mengutip dari jurnal The Messenger tahun 2024. Mengulang bagian pertama yaitu beban kerja dan stress, hal ini memiliki kesinambungan. Teknologi-beban kerja-stres release-kurang ibadah. Lapad jurnal pun mengatakan hal yang sama, penggunaan media sosial dapat menjadi distraksi seseorang untuk beribadah.
Literatur review dari Kemenag mengemukakan bahwa semakin mapannya seseorang, intensitas keagamannya kian rendah. Sedang semakin miskin orang, intensitas agamanya tinggi. Tetapi, dalam in this economy and indonesia politic orang-orang mengejar kemapanan yang perlahan-lahan melunturkan atau mengurangi kadar ibadah mereka sendiri. Kemapanan yang dibahas tentu tidak keluar dari ranah politik dan sosial. Mereka yang “mapan” kebanyakan berada di sektor pemerintahan dan bisnis. Yang kita semua tahu, gaji pemerintah sangatlah tinggi, sehingga memunculkan aksi massa beberapa bulan lalu.
Pebisnis pun mempunyai jaring-jaring laba-laba yang besar. Contohnya dalam sektor media, yang memiliki: Kompas, Tempo, Radar, Jawa Pos, adalah satu orang. Tentu keputusan yang tanpa sepengetahuan masyarakat ini (tahu pun tak bisa mengelak) ada keterlibatan sosial dan politik di dalamnya.
Kembali lagi, kondisi masyarakat Indonesia kini adalah mengejar kemapanan itu. Orang mapan intensitas agamanya turun, orang yang ingin mapan, intensitas agamanya menurun. Kemudian ini yang menjadi paradoks, berbalik 180 derajat: orang miskin yang intensitas agamanya tinggi, bahkan sangat tinggi—mereka yang tak masuk ke modernisasi.
Buku-buku, intelektual, professor mengatakan bahwa agama itu penting, tidak sekadar penting saja, namun diamalkan.Buku-buku, intelektual, dan professor lain mengatakan juga bahwa agama tidak begitu penting—di zaman ini. Zaman yang rata-rata berkembang hasil sains (kerja keras) manusia.
Teknologi, beban kerja, media sosial, tatanan ekonomi-sosial-politik: itu semua hasil dari modernisasi, tak bisa dielakkan. Ke-4 hal itu yang menjauhkan manusia dari agama. Tangan manusia sendiri yang berusaha menjauhkan dirinya dari agama.Apakah lantas mundurnya peradaban jadi solusi untuk keagamaan? Itu terlalu radikal. Yang penting dalam esai ini ialah, kita semua tahu jika arus modernisasi membawa manusia ke titik ini—tanpa disadari.***





