Warga Cirebon dan Keraton
Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UINSSC
Kearifan lokal menjadi salah satu daya tarik dalam bidang apa pun. Karena metode itu mudah menarik perhatian, terutama warga lokal yang menduduki daerah tersebut. Secara alamiah, contohnya warga Cirebon, lebih suka mengikuti acara atau festival jika ada musik tarling, dan sandiwara di dalamnya.
Selain musik dan drama, orang-orang terkenal seperti penyanyi, pejabat, bahkan profesor yang berasal dari daerah setempat; akan membuat masyarakat daerah itu bangga secara bersamaan. Karena menyentuh area lokalitas, atau jati diri masyarakat.
Yang sering kali terlupakan adalah nilai-nilai luhur dari lokalitas tersebut. Masih dalam konteks orang Cirebon, banyak orang tahu ada tradisi tawurji, curak, mudun lemah, apem bulan suro; tetapi, yang disayangkan mereka hanya melaksanakan itu sebagai adat budaya saja, penghormatan kepada leluhur.
Apakah tidak boleh? Ya boleh, tentu saja itu bagus; namun kalau bisa jangan di kulit saja, jangan di permukaan saja. Dalam-dalamnya pun harus tahu. Pendapat penulis, selaku orang Cirebon asli adalah: pihak otoritas budaya, yaitu keraton; mestinya memberikan pendidikan atau edukasi kepada rakyatnya bahwa Cirebon itu punya falsafah baik. Mengandalkan pemerintah sebagai outsider, kurang efektif dalam pelaksanaan dan hasilnya. Keraton sendirilah yang harus turun tangan sebagai pemegang dan penjaga budaya Cirebon; proaktif.
Pada esai ini akan mengupas polemik keraton dalam memberikan pendidikan budi luhur kepada rakyat Cirebon. Baik ditarik secara sejarah, politik dan lain-lain.
Jurnal yang berjudul “Peran Keraton Cirebon dalam Pembentukan Identitas Nasional pada Masa Kemerdekaan Indonesia: Analisis Politik Islam dan Nilai Nasionalisme” mengatakan: Sejarah Cirebon berbeda dengan Yogya, dalam konteks pra kemerdekaan dan sesudahnya. Saat Indonesia merdeka, daerah-daerah yang awalnya kerajaan, mesti bersatu ke Indonesia. Hal ini yang menjadi tantangan Soekarno kala itu, presiden pertama itu harus bernegosiasi agar negara yang baru lahir itu dapat bersatu; seutuhnya.
Sultan Kanoman Nurus, awalnya menolak bersatu secara penuh dengan Indonesia, khawatir tanah keraton diklaim menjadi milik negara. Maka dari itu Presiden Soekarno melakukan negosiasi, akhirnya sultan berpikir bahwa kepentingan Indonesia lebih besar dari kepentingan Cirebon. Dan Sultan Nurus mengalah dan menyerahkan tahta secara simbolik: kursi gading dan mandi mastaka ke Soekarno.
Sayangnya hal itu membuat Cirebon tidak dianggap jadi daerah istimewa seperti Yogyakarta. Pemerintahan kerajaan di Cirebon tidak hanya Keraton Kanoman, ada Kesepuhan, Keprabonan, dan Kacirebonan. Keraton-keraton itu memiliki otoritas (hak dan wewenangnya) masing-masing; namun yang berpolitik hanya Kanoman dan Kesepuhan.
Memang Soekarno senang, tetapi ada pihak-pihak yang harus ia menangkan lagi. Keraton Kanoman bersedia karena dijenguk (didatangi), berdasarkan kesaksian Pangeran Win, beberapa orang di dalam keraton dijanjikan tanah di Papua. Tetapi, keraton yang lain meminta mobil, itulah yang membuat Sultan Nurus murka.
Berdasarkan dialektika antar keraton, jiwa andil dan bersatunya tidak kolektif sebagai kota. Akhirnya dicap sebagai wilayah yang memiliki banyak kepala, dan itu rumit.
Berbeda dengan Cirebon, Hamengkubuwono, Sultan Keraton Yogyakarta setuju bersatu, tanpa permintaan apa-apa. Bahkan dalam jurnal “Perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam Mempertahankan Kedaulatan NKRI: Analisis Peran dan Strategi
pada Masa Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949” menjelaskan, sultan memberikan sumber dayanya untuk tentara dan membangun Indonesia kala itu. Itulah yang membuat Yogya dilabeli sebagai daerah istimewa, membantu tanpa pamrih.
Berawal dari rasa menghormati dan menghargai, Sultan Hamengkubuwono diberi kepercayaan untuk mengelola wilayah Yogya dengan sistemnya sendiri. Menggunakan sistem sendiri pun mereka sudah baik, jadi kenapa tidak. Sedangkan Cirebon tidak, yang menguasai sosial, politik, dan ekonomi ya pejabat daerah. Khawatir jika Abdi dalem yang memegang kuasa, akan berebut tahta lagi.
Melihat adanya perbedaan asal-usul pemimpin (pergantian walikota), dalam konteks penyebaran budaya dan pengaplikasian secara menyeluruh, ini yang penulis khawatirkan. Karena gagasan yang dibawa oleh setiap pemimpin pasti berbeda. Tetapi, gagasan yang dibawa Hamengkubuwono pasti memiliki hulu yang sama (nilai, kebiasaan, dan falsafah). Ada kebanggaan sendiri menjadi orang Yogya karena nilai, bahasa dan adat tradisi turun temurun.
Penulis, selaku kawula muda tidak begitu mengenal Cirebon seperti orang-orang tua dulu. Justru menelan budaya-budaya luar, atau budaya baru yang perlahan akan menyingkirkan budaya asli Cirebon. Sedangkan Yogya, tidak. Secara bahasa, orang Yogya menggunakan bahasa kromo inggil kepada turis. Sedangkan Cirebon, menggunakan bahasa padinan (sehari-hari); yang tatanannya di bawah bahasa kromo.
Sebagaimana bahasa adalah identitas bangsa. Orang Cirebon yang tidak bisa bebasan, apakah mereka masih bisa disebut Cirebon asli. Iya dan tidak. Jadi, inti dalam sub bab ini adalah, persoalan banyak “kepala” di Cirebon yang membuat daerah ini tidak diberi kata “istimewa”. Tentu masing-masing keraton punya pembelaannya masing-masing perihal ini.
Berbeda dengan sumber sebelumnya, jurnal yang berjudul “Konstruksi Citra Kaum Bangsawan: Sebuah Studi Komunikasi Politik Pada Bangsawan Keraton Cirebon” berbicara tentang keraton yang berusaha memiliki kekuasaan secara demokrasi modern. Sultan dengan komunikasi politiknya mengirim utusan abdi dalem untuk menjadi pejabat daerah.
Pejabat-pejabat tadi adalah representatif dari keraton, karena memiliki embel-embel ratu, elang, dan raden. Harapannya pejabat-pejabat ini dapat melaksanakan kepentingan-kepentingan keraton yang berusaha mengambil posisi politik seperti dulu kala.
Masih dalam jurnal ini, tindakan ini menuai pro dan kontra. Yang pro tentu saja dari pihak keraton, mereka mengatakan: itu hak orang Cirebon untuk di pimpin oleh orang Cirebon juga. Kata mereka itu sudah selayaknya dan sewajarnya. Bahkan mereka ingin meniru Yogya, sebab secara waktu lebih tua Kesultanan Cirebon daripada Mataram Islam yang kelak menjadi Yogya dan Solo. Berharap saja keraton memang punya tujuan baik, khususnya untuk pendidikan dan budaya.
Bagian kontranya adalah, penggunaan simbol raden, elang, dan ratu dalam pentas politik; bisa membuat jarak antara rakyat dan pejabat. Kalau memang benar terjadi, itu jatuh ke feodalisme dan mundur dari paham demokrasi.
Orang-orang keraton harus mampu menjaga kedua sisi ini, sisi kanan untuk memberikan pengaruh agama dan budaya luhur; sisi kiri untuk menjaga agar tidak menyelewengkan wewenang hanya karena keningratan.
Banyak sekali faktor mengapa generasi muda sulit melestarikan budaya. Salah satunya adalah peran pemerintah yang kurang optimal, sebagai outsider; dan andil keraton hanya sebagai pemangku adat. Ada faktor sejarah, dialektika pemimpin keraton dan rasa kepemilikan tanah. Yang terbaru, penggunaan komunikasi politik keningratan.
Bila embel-embel ratu, elang, dan raden hanyalah pendukung; baiklah, tidak apa-apa. Jika simbol keningratan menjauhkan warga dengan keraton, dalam konteks politik, sosial, ekonomi, dan budaya; ini menjadi “pekerjaan rumah” yang perlu diperbaiki kembali.
Singkatnya, di Cirebon, untuk memiliki kesadaran budaya sekental Yogya; masih ada hal-hal yang perlu ditempuh, baik cara lama atau cara baru. Berbagai cara boleh dilakukan, asal bertujuan membudayakan falsafah Cirebon ke warga Cirebon secara merata—khususnya anak muda.***





