Operasi Plastik Vs Self-Love: Konflik Estetika dan Penerimaan Diri
Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UINSSC
Self-love, istilah yang sudah pernah ada pada abad 18, dan ramai digunakan di tahun 2011-an. Self-love tidak jauh dari perkembangan dialog antar filsuf, psikolog, atau ilmuwan sosial mengenai “Bagaimana agar hidup menjadi lebih baik?” jawabannya adalah self-love.
Self-love berkembang pesat, penyebabnya tidak jauh dari perkembangan zaman yang semakin cepat. Semua orang bisa mengunggah dirinya di media sosial. Didukung globalisasi, tren-tren budaya, sosial, kesehatan mental kian menyatu. Semua orang ingin menampilkan yang terbaik di depan layar. Banyak orang ingin menunjukkan bahwa dirinya hebat di media sosial.
Efeknya, masyarakat terpapar atau mengkonsumsi apa yang orang-orang bagi—terutama yang terkenal. Banyak faktor, salah satunya faktor fisik yang mengambil peran. Wanita cantik yang memiliki fitur hidung mancung, kulit putih, mata besar, rambut panjang mengkilat, kaki jenjang, kurus, bibir tebal, dada besar; menjadi panutan bagi wanita yang berkebalikan. Karena setiap hari wanita mengkonsumsi foto wanita cantik, akhirnya mereka mulai bertanya. “Apakah aku tidak cantik?”
Kalau wanita tersebut bisa menerima apa yang ia miliki setelah melihat perbandingan wanita cantik: barulah ia self-love. Mencintai diri sendiri sesuai apa yang ada di dalam dirinya. Tidak perlu diubah, direkayasa: fisiknya. Hal sama pun berlaku untuk pria.
Demi menanggapi situasi seperti ini, bisnis kecantikan melihat peluang. Mereka membuka bisnis operasi plastik selebar-lebarnya untuk mereka yang kurang puas akan rupanya sendiri. Hidung dimancungkan, bibir ditebalkan, dagu dilancipkan, lemak disedot, dada diperbesar. Semua mereka bisa lakukan dan tetap bertahan saat ini, sebab pasarnya ada.
Setelah mereka menjadi cantik—yang massal—setelah operasi, wanita tersebut menyuarakan “self-love”; hasilnya diterima dan banyak orang suka hal itu. Kenyataannya, dialah yang menafikan self-love, kemudian menggunakan operasi plastik untuk sampai ke kadar self-love nya yang dibentuk media sosial.
Esai ini akan membahas dilema operasi plastik dan self-love. Apakah orang yang self-love tidak perlu operasi plastik, atau operasi plastik adalah jalan menuju self-love?
Kurang lengkap jika menilai peristiwa hanya dengan pengamatan dangkal semata. Oleh karena itu, untuk mengetahui inti masalah secara mendalam; dibutuhkan data-data operasi plastik mana yang untuk kecantikan dan bukan. Karena operasi plastik terlalu cepat disalahkan bila tidak melihat kondisi sebenarnya.
Operasi plastik dibagi menjadi dua, operasi rekonstruksi dan estetika. Yang pertama dilakukan karena ada keperluan hidup dan mati; seperti luka bakar, trauma, cedera, kanker, gangguan, dan cacat. Sedangkan yang kedua, alasannya lebih condong pada; percaya diri, harga diri, kecantikan, penampilan, bisnis, pekerjaan, dan tuntutan sosial. Operasi yang kedua ini, dinamis terjadi sebab sosial budaya manusia yang terus berkembang. Semula homogen (satu jenis) menjadi heterogen (berbagai jenis).
Laporan American Society of Plastic Surgeon (ASPS) pada tahun 2023; tentang seberapa banyak orang yang melakukan operasi rekonstruksi dan estetika. Sebanyak 6,8 juta prosedur yang melakukan operasi rekonstruksi (baik bedah atau non-bedah). Kalau dibayangkan 1 orang melakukan 1 prosedur, sebanyak 1 Provinsi Riau jumlahnya.
Sementara itu (masih data ASPS), orang yang melakukan operasi estetika sebanyak 26,9 juta prosedur. Dan, kalau 1 orang melakukan 1 prosedur operasi estetika; diibaratkan seperti kota Guangzhou di Cina.
Berbeda dengan ASPS, International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) menghitung ada sekitar 38 juta prosedur operasi estetika di tahun 2024. Kalau diperkirakan seluruh wanita yang ada di Tokyo menjadi cantik, secara serempak.
Kemudian, apa maksud dari data-data di atas? Menghubungkan kembali dengan premis utama, operasi plastik berlawanan dengan self-love. Premis tersebut menjadi semakin dalam setelah diketahui ada dua jenis operasi plastik. Tandanya, ada perubahan premis: operasi plastik estetika berlawanan dengan nilai self-love.
Bukan masalah jika operasi rekonstruksi yang dilakukan, itu lebih baik dari operasi estetika yang hanya memberi kalori untuk bisnis dan penampilan. Yang dipermasalahkan adalah pengaruh media, pekerjaan, dan bisnis; serta kendali orang-orang yang mau terjun operasi plastik.
Memang, operasi plastik estetika tidak salah; yang menjadi salah ketika orang tersebut, mengatakan self-love atas tindakannya.
Kenapa se-tidak boleh itu mengaku self-love namun melakukan operasi plastik estetika. Selain karena premis utama di gagasan sebelumnya. Karena self-love ternyata tidak hanya perihal mencintai diri sendiri; tetapi, mencintai diri sendiri walaupun tidak sesuai ekspektasi. Self-love pun mengalami perkembangan, yaitu self-compassion. Self-compassion (welas asih diri) dibagi menjadi tiga: self-kindness, common humanity, dan mindfulness.
Kenapa mesti berwelas asih ke diri sendiri? Karena kita tidak bisa memberikan tanggung jawab itu pada orang lain. Kita yang bertanggungjawab akan welas asih diri sendiri. Kalau diri sendiri tak welas asih, lalu siapa lagi? Alih-alih mengubah wajah untuk merasa lebih baik. Utamakan dulu self-kindness (berlemah lembut dengan diri sendiri).
Salah satu upayanya adalah tidak menghukum (menjudge) diri sebagai orang gagal atau bodoh. Mengatakan cukup pada hasil saat kita sudah berusaha, baik gagal atau berhasil. Berani menaruh garis istirahat disaat lelah, tidak memaksakan diri karena hasil tidak sesuai perkiraan.
Kedua, ada common humanity, menyadari bahwa penderitaan adalah bagian dari manusia. Kita suka menilai penderitaan sebagai sebuah kesialan. Penderitaan sebagai hal yang salah, hal yang batil; sebuah dosa yang harus dihindari. Semua orang berupaya agar hidup nikmat dan enak. Sayangnya, derita dan nikmat adalah sisi yang berbeda dalam satu koin.
Kenikmatan tidak akan ada tanpa penderitaan, dan penderitaan tidak akan hadir tanpa kenikmatan. Manusia tercipta dengan dua hal yang menyertai mereka: nikmat dan derita. Jadi derita bukanlah suatu kesalahan, derita adalah proses yang mesti dijalani untuk bertumbuh lebih baik dan sempurna.
Terakhir, mindfulness: kesadaran penuh. Di dunia yang penuh distraksi ini. Manusia sangat sulit untuk fokus. Fokus terhadap apa yang dilihat, dirasakan, didengar, dicium, diraba, dialami. Dunia maya menyuguhkan begitu cepat apa pun, yang disajikan algoritma. Begitu pun dengan budaya, fast fashion, tren. Semuanya berlalu begitu cepat dan manusia ingin mencoba semuanya; tanpa sadar secara penuh di dalamnya.
Apa akibatnya? Tidak ada makna. Yang ada hanyalah perasaan yang semu. Perasaan yang dibuat-buat oleh marketing dan media. Intuisi dan nalar manusia tak sempat menerka, ini sebenarnya apa?
Apa yang kita lakukan hingga sebegininya? Apa yang kita kejar sampai operasi bibir? Apa yang harus diraih dengan bulu mata badai? Apa yang mesti dilakukan selanjutnya dengan hidung mancung dan bibir berisi?
Tanpa mindfulness, itu semua hampa. Itu semua ilusi tak bertepi yang manusia enggan sadari. Mereka denial (menolak) kenyataan; termasuk menolak apa yang telah Tuhan berikan untuknya—tentu jika dia seorang theist.
Self-compassion dengan 3 unsur yang sudah dibahas, sudah cukup untuk mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri di kala paripurna dan cacat tiada tara. Dengan akal gemilang, Kristin Neff—seorang psikolog dari Universitas Texas—mencoba merangkai cara; bagaimana mencintai diri tanpa perlu operasi.
Operasi adalah hak asasi semua orang. Baik operasi rekonstruksi atau estetika. Menerima diri apa adanya, tanpa operasi pun hak asasi semua orang. Hidup selalu ada pilihan dan manusia selalu dipaksa untuk memilih. Mengubah wajah hingga tak dikenal, atau mencintai wajah walau dilihat sebelah mata. Yang paling penting (kan) seberapa kita mencintai diri sendiri. Mencintai dibarengi operasi; baiklah, itu pengecualian. Kalau mencintai dan menerima semua buruknya, bukankah itu kemampuan kita; manusia?**





