Opini

Mendagri Galakkan Siskamling Berbasis Digital

Mendagri Galakkan Siskamling Berbasis Digital
Oleh: Andrian Saba
Forum Studi Mandiri

Cahaya ponsel pintar itu selalu menghiasi dalam kehidupan sehari-hari. Sedang keresahan warga tetap merayap di balik dinding permukiman. Mereka menahan rasa gelisah di balik selimut kelam. Melihat lorong-lorong gang yang seram tanpa kenyamanan. Ini bukan tentang kesepian. Ini tentang keamanan yang sudah lama hilang dijaga oleh negara.
Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, memberi instruksi yang menyeret kita pulang ke masa kebersamaan. Melalui Surat Mendagri Nomor 300.1.4/e.1/BAK pada 3 September 2025, Tito menggalakkan kepala daerah untuk membangkitkan kembali Siskamling dan pos ronda, dua denyut sosial yang nyaris terkubur. Seruan itu menghadirkan kesadaran akan pentingnya kebersamaan yang terjaga. Kentongan, jadwal gilir ronda, dan obrolan di pos jaga menjadi penanda kekuatan sosial yang tidak pernah lekang. Pada titik itulah teknologi kehilangan pamor karena solidaritas manusia lebih terang dari cahaya layar gawai.
Bapak-bapak yang dulu sibuk bercakap di grup WhatsApp, kini harus menjaga malam di pos ronda yang reyot. Mereka menahan kantuk sambil mengabaikan godaan membuka TikTok dan memantau pergerakan saham. Sebuah perubahan pun terjadi. Wajah baru pertahanan keamanan tingkat akar rumput tampil dalam rupa ganda, separuh tradisional dan separuh digital. Instruksi Mendagri sepertinya datang sebagai benang untuk merajut kembali tenun sosial yang telah koyak.
Lalu muncullah Sistem Informasi Manajemen Perlindungan Masyarakat atau SIM Linmas, produk teknokratis yang dikemas guna menjembatani ronda malam dengan layar data. Dari tangan para peronda, laporan kejahatan dialirkan ke layar digital dengan grafik real-time. Modernisasi ini memang terdengar bagus, meski roh kewaspadaan tetap bergantung pada orang yang berjaga. Akan tetapi, jurang digital antara petugas linmas yang berusia senja dan penggunaan aplikasi menjadi permasalahan tersendiri. Sebagian dari mereka pasti akan merasa kesulitan pada saat mengoperasikan sebuah aplikasi. Oleh karenanya, ini menjadi sebuah tantangan. Pendidikan, tutorial pelaporan, dan aspek lainnya harus disosialisasikan terlebih dahulu.
Kita seperti dibawa ke perjalanan lintas masa, ketika patriotisme 1980-an yang dijalin dengan infrastruktur 2020-an dengan cepat mengubah sistem siskamling. Tito Karnavian, mantan Kapolri, tentu mengetahui betul tentang keamanan tidak hanya cukup dijaga, tetapi perlu dikelola menggunakan data. Siskamling lama sering berlangsung tanpa catatan, atau hanya bertumpu pada ingatan dan kisah dari mulut ke mulut. SIM Linmas digagas untuk mengubah jejak lisan itu menjadi catatan yang tersusun rapi.
Sebetulnya, seruan Mendagri itu menyimpan kritik halus bagi kita semua yang kerap melupakan keberadaan tetangga di sekitar rumah. Kepercayaan lebih mudah diberikan pada arus media sosial dibandingkan pada tegur sapa sederhana setiap pagi. Kebijakan yang sedang dijalankan berusaha menata kembali modal sosial yang perlahan terkikis. Ronda dijadikan sarana, sedangkan keamanan muncul sebagai efek tambahan. Jika kemauan untuk menjaga modal atau bekal sosial pudar, setiap sistem hanya menyisakan formalitas yang hambar.
Gagasan menghidupkan Siskamling menunjukkan bahwa aparat keamanan formal memiliki keterbatasan. Polisi tidak mungkin hadir di setiap gang. Di sinilah peran masyarakat menjadi kunci untuk memastikan lingkungan tetap aman. Strategi tanggung jawab bertingkat menempatkan penyelesaian masalah pada level yang paling dekat dengan warga. Sehingga setiap langkah menjadi nyata dan bermakna.
Kita harus berhati-hati agar romantisme masa lalu tidak membuat kita buta terhadap perubahan sosial. Dulu masyarakat lebih homogen, waktu luang lebih banyak, dan ikatan kekerabatan lebih kuat. Sekarang semua serba heterogen, sibuk, dan individualistik. Memaksakan model lama secara kaku hanya akan menuai kegagalan. Adaptasi dan inovasi menjadi kunci menghidupkan kembali nilai-nilai lama. Yang kita butuhkan tetap esensi kebersamaan dan bentuk kegiatan ronda harus menyesuaikan dengan zaman.
Aspek finansial juga tidak boleh diabaikan. Menghidupkan pos ronda butuh dana, pelatihan linmas butuh dana, dan mengembangkan aplikasi SIM Linmas butuh dana yang tidak sedikit. Apakah ini sudah masuk dalam perencanaan anggaran daerah, ataukah hanya menjadi perintah tanpa dukungan finansial? Kebijakan yang tidak diiringi anggaran hanyalah wacana yang menggantung. Komitmen harus dibuktikan dengan alokasi sumber daya yang memadai. Jangan sampai kepala daerah hanya meneruskan perintah tanpa memberikan sokongan yang nyata.
SIM Linmas berpotensi menjadi alat yang sangat efektif jika dikelola dengan integritas. Data yang terkumpul dapat digunakan untuk pemetaan kerentanan kejahatan, perencanaan pembangunan, dan penanganan bencana. Namun, pengalaman kita dengan data pelaporan masyarakat sering berakhir pada penyalahgunaan, seperti daftar yang dimanfaatkan untuk preferensi politik. Maka dari itu, prinsip perlindungan data pribadi harus menjadi landasan utama.
Kita dapat menilai kebijakan Mendagri sebagai langkah mundur yang penuh kenangan. Atau menafsirkannya sebagai lompatan ke depan yang berani dengan belajar dari kearifan lokal. Kebijakan ini berusaha menyatukan kecanggihan teknologi dan nilai-nilai sosial yang mendalam. Mengingat tantangan bagi Indonesia di zaman modern terletak pada kemampuan untuk maju tanpa kehilangan jati diri. Siskamling digital ini menggambarkan dengan tepat jalan berliku yang harus ditempuh.
Sementara itu, efektivitas kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh lokalitas masing-masing wilayah. Di desa dengan budaya komunal, Siskamling berpeluang tumbuh dengan baik. Di kota besar yang individualis, Siskamling bisa saja hanya menjadi simbol formalitas. Mandat telah diberikan, tetapi pelaksanaannya sepenuhnya ada di tangan kepala daerah dan masyarakat. Momentum ini menyoroti sisi kuat dan lemah otonomi daerah. Perbedaan kondisi menuntut adanya strategi yang beragam agar kebijakan dapat berfungsi sesuai konteks.
Kita berharap kebangkitan Siskamling tidak sebatas urusan menangkap pencuri. Lebih dari itu, para peronda dapat membangun dialog, menumbuhkan toleransi, dan memperkuat rasa kebersamaan warga di lingkungan RT/ RW. Setiap giliran jaga malam memberi ruang untuk berbicara dari hati ke hati, dan menembus sekat-sekat yang kerap membatasi. Nilai sosial inilah yang sesungguhnya memberi makna pada ronda. Semoga sisi humanis ini selalu menjadi perhatian dalam setiap kebijakan yang lahir.***

Related Articles

Back to top button