Mengendalikan Takdir

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UIN SSC
“Kamu Harus Menerima Takdir” kata orang-orang di saat Anda marah pada dunia yang tidak adil. Takdir adalah hal yang misterius. Anda dilempar ke dunia dengan takdir masing-masing. Anda tidak bisa menentukan takdir Anda sendiri. Tidak bisa memilih lahir di mana, warna kulit apa, fitur tubuh bagaimana; Anda tidak pernah memilih. Anda hanya dilahirkan begitu saja. Kemudian mengerti saat dewasa bahwa Anda mulai kesulitan atas takdir yang menimpa. Contohnya pria kulit hitam di Amerika, ras Tionghoa di Indonesia tahun 1988. Orang-orang yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena miskin, atau tidak bisa melihat karena buta.
Anda terlahir begitu saja dan terpaksa menerimanya sambil menjalani hidup. Bagi orang yang berada di lingkungan negatif, akan sulit untuk menerima takdir. Hidup terlalu keras bagi orang yang kurang beruntung dalam putaran takdir.
Bagaimanapun juga, menerima adalah satu-satunya jalan yang tepat bagi Anda dan manusia lain. Kalau belum bisa menerima takdir, hidup akan dipenuhi amarah, penyesalan, kemungkinan terburuknya adalah bunuh diri. Penulis tahu sangat susah menerima takdir, terutama ketika ada seseorang yang bilang “enak ya jadi kamu”. Mereka hanya melihat manusia dari permukaan saja, tidak menahu soal masalah dan perasaan di dalamnya.
Kesimpulannya, menerima takdir bukan hal yang mudah. Tetapi, apakah menolak takdir membuat hidup Anda lebih baik? belum tentu. Namun, bagaimana jika Anda bisa mengendalikan takdir. Alih-alih menerima dan menolak, mengapa tidak mengendalikan takdir saja. Bukannya Anda juga bisa menolong takdir warga palestina, simpatisan partai 65, korban perang dunia pertama dan kedua. Kalau Anda setuju dan tertarik, esai ini dibuat untuk Anda yang merasa ingin mengendalikan takdir. Merasa muak melulu tidak berdaya atas apa yang sudah dunia berikan.
Hari pertama Anda mengendalikan takdir. Anda akan mulai merekayasa diri dulu; lahir di keluarga kaya, memiliki orang tua lengkap, fisik sempurna, dan otak cerdas. Bila Anda sekarang berumur 30 tahun, takdir yang direkayasa yaitu dari lahir sampai sekarang. Anda hidup berkecukupan, memiliki derajat yang tinggi di lingkungan, dapat melakukan apa yang diinginkan di kehidupan sebelumnya. Karena Anda tidak terbiasa jadi orang kaya, Anda perlu beradaptasi. Permasalahan orang bawah dan menengah berbeda dengan orang kaya.
Permasalahan orang kaya terletak pada perebutan warisan, alih kuasa saham, mengatur para karyawan, dan melarikan diri dari pajak yang ditetapkan pemerintah. Walaupun Anda sudah lebih pintar, Anda tidak mengira bahwa menjadi orang kaya akan sesulit ini. Sama seperti manusia pada umumnya, orang kaya pun memiliki nasibnya masing-masing. Lalu Anda mulai merasa bahwa kasih sayang yang diberikan oleh orang tua baru Anda berbeda dengan orang tua yang asli. Anda mencari keberadaan orang tua asli Anda. Mereka tidak mengenali Anda. Walaupun Anda bisa mengendalikan takdir, Anda tidak bisa mengendalikan manusia.
Anda tetap harus memutar takdir; melakukan semua hal yang Anda impikan dari dulu. Belanja tanpa henti, makan mewah, beli barang mewah, punya pacar atau suami tampan, berkeluarga. Anda tidak bisa mengendalikan masalah, karena masalah adalah konsekuensi dari takdir. Saat Anda ingin mengubah konsekuensinya, masalah lain tetap datang. Masalah Anda akan tetap datang. Dan hal yang mengejutkan, masalah-masalah yang Anda alami sekarang; lebih berat dari yang pernah Anda alami selama 30 tahun.
Belum lagi masalah-masalah yang Anda timbulkan akibat memutar takdir tanpa pikir panjang. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk bisa terjadi akibat Anda lalai mengatur takdir orang lain; selama ini Anda hanya mengatur takdir sendiri. Anda mulai mencoba mengatasi masalah mengendalikan takdir yang sebenarnya: memberikan takdir terbaik bagi semua orang-8 miliar manusia, bagi semua makhluk, bagi semua yang ada di dunia ini.
Perang lebih cepat meletus, kejahatan timbul di mana-mana, korupsi merajalela; dunia kacau balau. Karena Anda bisa tahu apa yang orang lain rasakan, sebab konsekuensi mengendalikan takdir; kepala Anda pusing menerima semua informasi, baik dari masa sekarang atau masa depan. Yang paling membuat Anda diam adalah perkataan manusia “Dunia tidak adil” “Aku sengsara terus, tidak pernah sejahtera” “Aku selalu tidak dapat yang aku inginkan”. Itu adalah kalimat Anda dulu, sebelum bisa mengendalikan takdir, sekarang kalimat itu terjadi karena Anda, dan tertuju pada Anda: sang pengendali takdir.
Selain takdir manusia dan makhluk hidup. Anda juga harus memikirkan takdir alam semesta, black hole, dimensi, gerhana matahari dan bulan. Belum lagi bencana-bencana alam dan dampaknya bagi manusia. Anda berusaha menghentikan satu bencana, bencana lain muncul. Anda menghentikan satu orang jahat, orang jahat lain datang kembali. Anda yang merasa mengendalikan takdir, rasanya merasa putus asa dan sia-sia. Tujuan awal Anda adalah hidup lebih nyaman dari sebelumnya. Kenyataanya, Anda menanggung konsekuensi menjaga aliran takdir tetap berputar dan menjaganya dari kiamat yang datang.
Akhir dunia yang pasti akan Anda alami. Saat kiamat makin dekat, Anda mencoba menghambat dan menghalangi, sayangnya mau dihambat bagaimanapun, kiamat akan tetap datang. Kondisi fisik dan mental Anda memprihatinkan karena tidak bisa tidur dan makan. Pekerjaan mengendalikan takdir bukan pekerjaan biasa, sekali saja Anda menutup mata; dunia bisa hancur seketika. Pikiran awal mulai menghantui. “Apakah aku lebih baik tidak mengendalikan takdir?”
Pertanyaan semacam itu mengganggu benak Anda, sedikit saja fokus tidak optimal; hal-hal buruk akan menimpa takdir yang Anda kendalikan. Dari jutaan dan milyaran suara manusia dan makhluk hidup yang datang ke kepala. Anda terkejut oleh satu suara. Suara itu berasal dari anak kecil di pinggir jalan. Senyumnya merekah saat kuenya berhasil terjual satu. Padahal Anda tahu dia sudah berkeliling dari pagi sampai sore, kuenya terjual satu dan dia sangat bersyukur. “Syukurlah hari ini ada yang beli. Dari dua hari yang lalu selalu sepi penjual”.
Suara yang sama datang juga dari ayah keluarga kecil. Ayah mengangkut tepung terigu di pundak, sudah berjalan puluhan kilometer dari rumah. Saat ayah pulang, istri dan anak-anaknya menyambut hangat; memeluk si ayah. Anak bersukacita, “Akhirnya kita bisa makan roti setelah beberapa hari makan tanah dan pasir.” Si ibu ikut berkomentar, “Semoga Israel berhenti membombardir Palestina.” Mereka makan dan bersyukur kepada Tuhan karena masih diberikan hidup.
Manakala Anda sedikit fokus ke suara orang sulit, ratusan suara yang sama menghampiri Anda; menghangatkan hati. Masalah tetap menimpa mereka setiap harinya, namun senyum tetap terukir indah di wajah. Hanya bisa makan nasi dan garam, mereka menerima.
Dari sekian takdir yang menimpa mereka akibat Anda; sama sekali tidak ada yang meminta untuk bisa mengendalikan takdir. Anda mulai sadar; mengendalikan takdir bukanlah jawaban yang tepat. Anda mengira mengendalikan takdir itu mudah, nyatanya tidak semudah yang Anda kira sebagai manusia. Bagi manusia biasa, menerima takdir adalah jalan yang paling mudah dan sempurna-daripada menggugat, menyalahkan, apalagi mencoba mengendalikan.***