Opini

Fenomena Childfree Dalam Keluarga

Oleh: Imam Nur Suharno
Penulis Buku ‘Keluarga Samara Sehidup Sesurga’

Masyarakat dibuat resah dengan gaya hidup childfree bagi sebagian orang. Istilah ini mengacu kepada pasangan suami-istri yang memiliki sikap untuk tidak punya anak dalam kehidupan perkawinan mereka. Sikap childfree ini bertentangan dengan misi dari kehidupan dan pernikahan itu sendiri. Salah satu misi membangun keluarga adalah mempunyai keturunan (anak). Dengan memiliki keturunan tidak akan menimbulkan krisis populasi. Memiliki anak menjadi salah satu dari kebahagiaan dalam membangun rumah tangga. Tidak henti-hentinya pasangan suami-istri yang terus berdoa agar dikarniai keturunan (anak) sebagai qurrata a’yun.
“Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” (Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa). (Q.S. al-Furqon [25]: 74).
Doa agar diberikan keturunan (anak) sebagai penyejuk hati tersebut tidaklah asing bagi kaum Muslimin. Karena anak sebagai karunia bagi orang tua. Keberadaannya senantiasa dinantikan, karena akan menjadi penerus sejarah dan eksistensi umat manusia, dan menjadi penguat ikatan dalam rumah tangga. Memiliki anak dalam pandangan orang-orang yang saleh, tidaklah sekadar meminta agar dikaruniakan anak karena anak itu sendiri, melainkan karena ada tujuan mulia.
Pertama, agar menjadi hamba Allah yang Mengesakan-Nya dalam ibadah. Dalam doa istri Imran, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis).” (Q.S. Ali Imran [3]: 35). Istri Imran ketika itu berada di tengah-tengah masyarakat yang senang membangga-banggakan anak. Masyarakat ketika itu berusaha untuk mendapatkan anak yang akan menjadi puncak kebanggaan orang tua, disamping sebagai media untuk mendapatkan keuntungan. Sehingga, anak dapat mempengaruhi perilaku orang tua, orang tua mempengaruhi perilaku anak. Karena itu, istri Imran berdoa agar anaknya kelak terbebas dari itu semua, dengan kata lain, anaknya menjadi hamba Allah yang Mengesakan-Nya dalam ibadah.
Kedua, meneruskan misi. Permohonan anak dari seorang yang saleh itu dimaksudkan bukan sekadar untuk menjadi hiasan dan kebanggaan baginya di dunia, namun lebih dari itu, agar dapat melanjutkan misi perjuangan.
Dalam kisah Nabi Zakariya AS, sesungguhnya yang ia minta adalah keturunan yang saleh. Karena ia mengetahui ada keturunan yang tidak saleh. Maka, Nabi Zakaria berkata sebagaimana difirmankan Allah SWT, “Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub.” (Q.S. Maryam [19]: 6).
Doa Nabi Zakariya di atas dimaksudkan agar diberi anak yang mewariskan kenabian, risalah atau misi dan nilai-nilai yang selama ini didakwahkan. Demikianlah, Nabi Zakariya telah meminta dikarunia anak untuk mengemban misi yang besar.
Ketiga, memberinya manfaat setelah meninggal dunia. Nabi SAW bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga; sadaqah jariyah; ilmu yang dimanfaatkan; dan anak saleh yang mendoakan dirinya.” (H.R. Muslim). Anak yang saleh dapat menjadi sebab diangkatnya derajat kedua orang tua di surga. Nabi SAW bersabda, “Sungguh Allah akan meninggikan derajat hamba-Nya yang saleh di surga. Hamba-Nya berkata, “Ya Rabb, bagaimana aku mendapatkan kemuliaan ini?” Allah menjawab, “Karena permohonan ampun yang dimintakan anakmu bagimu.” (H.R. Ahmad dan Thabrani).
Keempat, meraih pahala. Memberi nafkah kepada anak mendatangkan pahala dan karunia besar dan agung sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi SAW. “Makanan yang kalian berikan untuk dirimu adalah sadaqah; makanan yang kalian berikan kepada anakmu adalah sadaqah; makanan yang kalian berikan kepada istrimu adalah sadaqah; makanan yang kalian berikan kepada pembantumu adalah sadaqah.” (H.R. Ahmad).
Kelima, mengikuti petunjuk para nabi. Ketika kehidupan seorang rasul dekat dari kehidupan umat tempat ia diutus sebagai teladan bagi mereka, maka keteladanan itu akan lebih mudah didapatkan apabila dirinya memiliki kedudukan yang sama dengan manusia yang lain, misalnya sebagai seorang bapak atau suami. Ketika salah seorang sahabat mendatangi Nabi SAW meminta izin melakuan isolasi diri secara total dengan tujuan untuk mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah, seperti shalat, puasa dan tidak menikahi wanita, Nabi SAW melarangnya seperti ditegaskan dalam sabdanya.
“Sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, namun demikian aku terkadang berpuasa dan terkadang berbuka; terkadang shalat dan terkadang tidur; selain juga menikahi wanita. Barangsiapa tidak mau mengikuti sunahku, maka bukan termasuk pengikutku.” (H.R. Bukhari, Muslim dan lainnya).
Keenam, menunjukkan kecintaan dan keridhaan kepada Nabi SAW dengan memperbanyak keturunan yang akan menjadi kebanggaan di Hari Kiamat. Seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW, lalu berkata, “Aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita yang terhormat dan cantik, namun dia tidak dapat melahirkan anak, apakah aku menikahinya?” Nabi SAW bersabda, “Jangan.” Kemudian laki-laki itu mendatanginya untuk kedua kali. Nabi tetap melarangnya. Kemudian, datang lagi untuk ketiga kali, Nabi pun bersabda, “Nikahilah wanita yang pencinta dan bisa banyak anak, karena aku akan membanggakan jumlah kalian yang banyak di depan umat yang lain.” (H.R. Abu Dawud).
Semoga Allah membimbing dan memberikan kemudahan kepada kita para orang tua agar dapat mendidik anak tumbuh berkembang menjadi saleh sehingga mengantarkan kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Amin.***

Related Articles

Back to top button