CirebonRaya

Tanah Hibah Warisan dari Raja Abdul Karnen Jadi Sengketa

Keturunan Ratu Nurani Tuntut Hak 49 Hektare Tanah di Jatimerta

kacenews.id-CIREBON-Sengketa tanah warisan kesultanan kembali mencuat. Mulyadi Saputra, salah satu keturunan dari garis Kesultanan Kanoman, mengungkapkan keluh kesahnya terkait sebidang tanah hibah seluas sekitar 49 hektare yang kini telah berdiri berbagai bangunan permanen tanpa izin jelas dari pihak keluarga pewaris.

Mulyadi adalah anak dari almarhumah Ratu Nur Asih, yang merupakan anak dari Ratu Nurani. Ratu Nurani sendiri menerima hibah tanah dari ayahandanya, Raja Abdul Karnen yang dikenal sebagai Sultan Kanoman, pada 23 April 1930.

Hibah tersebut diberikan kepada anak cucu dengan pesan tegas: tanah tidak boleh dijual, hanya boleh disewakan sebagai bentuk penghidupan anak cucu Ratu Nurani sampai turun temurun. Namun seiring waktu, pesan luhur itu terabaikan.

“Sekarang tanah itu sudah penuh bangunan, bahkan ada bentuk perumahan seperti perumahan BTN. Tanah itu diperjualbelikan secara ilegal oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” ujar Mulyadi saat berkunjung ke Kantor Kabar Cirebon, Kamis, (31/7/2025).

Ia menuturkan, dirinya sebagai ahli waris merasa kecewa dan terus berupaya menegakkan keadilan atas hak keluarga yang telah dilanggar.

Tanah hibah tersebut berada di Desa Jatimerta, Blok Alas Konda, Astana Gunung Jati, Cirebon, dengan luas sekitar 70 bau atau 494.449 meter persegi. Dalam dokumen hibah yang masih disimpan Mulyadi, disebutkan batas-batas lahan meliputi sebelah selatan berbatasan dengan (Sungai Pekik), timur (Laut Jawa), utara (Sungai Condong), dan barat (Gunung Jati).

Mulyadi menambahkan, meskipun hibah itu diberikan pada zaman penjajahan Belanda, dan saat itu pemerintahan Indonesia belum terbentuk, pesan dan ketentuan dalam surat hibah tetap berlaku karena merupakan keputusan resmi sultan pada masa itu.

“Setelah kemerdekaan, baru ada pemisahan wilayah antara tanah negara dan tanah kesultanan. Tapi itu tidak berarti menghapus hak waris kami,” tegasnya.

Upaya Mulyadi tidak berhenti pada pengakuan sejarah semata. Ia telah beberapa kali mendatangi pemerintahan desa setempat, namun tidak ada yang mampu memberikan informasi siapa yang telah menjual atau mengalihkan hak atas tanah tersebut.

Mulyadi kemudian diarahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun oleh pihak BPN ia diminta membawa surat keterangan dari Sultan Kanoman yang sekarang menjabat, Pangeran Emirudin. Sayangnya, permintaan itu belum mendapatkan tindak lanjut dari pihak kesultanan hingga kini.

“Saya sudah dua kali mendatangi pihak Kesultanan Kanoman, namun belum juga mendapat kejelasan. Saya justru curiga ada keterlibatan atau setidaknya pembiaran dari dalam kesultanan terkait jual beli tanah ini,” ungkap Mulyadi.

Ia juga mengaku telah mengunjungi sejumlah bangunan yang berdiri di atas lahan tersebut. Namun dari hasil penelusurannya, nama-nama pemilik bangunan tidak ada yang berkaitan langsung dengan garis keluarga kesultanan. Hal ini makin memperkuat dugaan bahwa tanah tersebut telah berpindah tangan secara tidak sah.

Dengan semua bukti dan dokumen yang dimilikinya, Mulyadi berharap suaranya dapat didengar oleh pemerintah. Ia secara terbuka meminta perhatian dari pihak Pemkab Cirebon, BPN, dan aparat penegak hukum agar memberikan solusi dan keadilan atas sengketa ini.

Ia tidak menuntut pembongkaran bangunan, namun menginginkan hak pengelolaan dan pengakuan terhadap status tanah hibah tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang sah.

“Kami bukan hendak merugikan orang lain. Kami hanya ingin hak kami diakui. Kami ingin duduk bersama, berdialog, dan menyelesaikan ini secara hukum dan adat,” kata Mulyadi menutup wawancaranya.(Fahim)

Related Articles

Back to top button