Masalah Kurban: Terlihat dan Tersembunyi

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Kurban, salah satu syariat yang diwajibkan Allah kepada orang beriman dan mampu. Menyembelih kambing untuk satu orang, dan sapi untuk 7 orang. Kurban, ibadah tahunan ini kalau dikulik masih ada masalah yang menggelisahkan. Entah masalah ini relevan atau relate bagi semua orang atau tidak.
Pertama masalah yang terlihat, kedua masalah yang tidak terlihat. Masalah pertama jelas soal perdagingan, meliputi: pendistribusian, kesiapan panitia, dan seleksi ketat penerima daging. Tempat menyembelih kurban seringkali di dekat area masjid. Hewan-hewan yang sudah dibeli perorangan ataupun kelompok digeser ke tempat public, supaya orang kompeten yang menyembelih hewan sesuai syariat. Kemudian segera dikuliti, dipisahkan mana yang bisa di makan, mana yang tidak. Singkat cerita, daging sudah diatur dan dikemas plastik, siap diedarkan.
Masalahnya, kadang pemilik kurban mengambil jatah daging dengan alibi “buat sanak family”. Kenyataannya keluarga bersangkutan secara ekonomi mampu membeli daging sendiri. Tidak jarang warga yang semestinya dapat daging, malah justru tidak menerima daging. Terkesan sepele, inilah salah satu unsur utama dari kurban. Menghilangkan rasa memiliki atas harta benda atau semacamnya.
Sah sudah, yang kaya tetap sehat, yang miskin kurang gizi. Masalah panitia dan seleksi penerimaan ini satu paket. Keberanian muslimin yang alim dan radar fakir miskin kompeten. Sebagai ahli waris Kanjeng Nabi jalur keilmuan yaitu santri, ustad, dan kyai sepatutnya berani mengambil tindakan. Asumsi logisnya, supaya daging dapat terdistribusi secara adil dan tepat, oang kaya sebaiknya dapat secukupnya, orang miskin kalau bisa sebanyak-banyaknya.
Mungkin perasaan euforia memengaruhi otak limbik manusia: mengatur perasaan, insting, dan naluri. Ironinya, sebelum kita melaksanakan ibadah kurban, khotib sudah mewanti-wanti lewat khutbah selepas Salat Id, bahwa esensi dari ibadah ini ialah membunuh ke-aku-an dalam diri. Bukan pesta sate atau sop sampai mabuk daging. Mari kita masuk wilayah tersembunyi: esensi dari ibadah kurban.
Penulis sudah dua kali menyebutkan tujuan kurban tadi. Perlu kita refleksi kembali, darimana awal mulai syariat ini ada. Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapak para Nabi, jelas ini sangat beralasan. Beliau harus menunggu ratusan tahun agar dikaruniai anak. Yang belum hamil puluhan tahun saja putus asa, ini ratusan tahun. Penantian berbuah manis, lahirlah Ismail disusul Ishaq. Nabi Ibrahim sangat mencintai anak-anaknya.
Anak adalah karunia yang tidak terkira dari Allah SWT, melebihi harta benda atau jabatan. Titik renung kita dalam peristiwa ini adalah kerelaan bapak untuk melepas keberadaan anaknya–yang dinanti-nanti. Anak tersebut atas perintah Allah harus “dikurbankan”. Yang sebenarnya dikurbankan bukan si anak, melainkan perasaan “milik” Nabi Ibrahim. Perasaan “rela” dan “pengorbanan” Itu sasaran utama dari ibadah kurban.
Dalam kisah Nabi, yang dikurbankan merupakan anak. Melihat zaman modern ini, kiranya apa yang dapat menjadi objek “pengorbanan” kita. Rumah yang selama ini dibayar KPR. Mobil yang genap lunas cicilan. Jabatan manajer hasil perjuangan bertahun-tahun. Iphone terbaru, laptop, crypto. Apa kira-kira obsesi kita di dunia ini. Instagram, piala, pengakuan, penghargaan. Kalau sudah menemukan, beranikah kita membunuh rasa memiliki itu atas kepentingan Allah?
Berani tidak kita keluarkan uang seharga kendaraan kita. Karena sepatutnya ibadah kurban itu tujuannya. Hakikatnya manusia tidak memiliki apapun. Semuanya itu titipan. Bahkan jiwa manusia milik Allah. Raga manusia suatu saat akan dimakan mikroorganisme. Apa lagi yang harus kita khawatirkan akan hilang?
Perasaan memiliki itu menyakitkan jika sudah ada rasa kehilangan. Mobil di garasi kalau hilang, mungkin kita depresi berbulan-bulan. Deposit di bank dibawa kabur oleh koruptor, berhari-hari kita bisa kehilangan nafsu makan. Sedari awal kita lahir, tidak membawa apa-apa, dan meninggal pun membawa amal saja. Tidak berbentuk pula amal itu.
Secara syariat, memang kita sudah melaksanakan kurban. Namun, di dalam hati perasaan memiliki kita masih mengakar kuat pada dunia. Mau sampai kapan hanya menjadi kacang tiada isi. Diluarnya kukuh, dalamnya rapuh.
Sesungguhnya apa yang telah disampaikan Rasul adalah sebaik-baiknya perlengkapan dan perkakas untuk hidup di dunia. Menjalani ujian dan bertakwa kepada-Nya. Semua ajaran Allah secara fisik dan batin bertujuan melindungi umat manusia. Maka dari itu laksanakan bersama-sama syariat Allah demi keberhasilan jiwa raga kita semua.**