Opini

Saat Kemenaker Berkaca

Saat Kemenaker Berkaca
Oleh: Andrian Saba
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UGJ Cirebon

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) akhirnya melangkah. Di antara tumpukan wacana dan setumpuk realita pasar kerja yang timpang, muncul kebijakan yang setidaknya membuka harapan bagi masyarakat. Kebijakan ini kalau dilihat di atas kertas bertujuan untuk menertibkan kekacauan yang sudah lama dianggap biasa, yakni “syarat batas usia, penampilan yang menarik, dan status pernikahan dalam lowongan kerja” resmi dilarang atau dihapus. Pernyataan ini langsung di sampaikan oleh Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan pada pidatonya di acara penutupan Job Fair 2025 di Kantor Kemenaker, Jakarta, pada Jumat kemarin.
Kebijakan ini datang seperti angin segar di tengah panasnya diskriminasi yang sudah dianggap lumrah. Bertahun-tahun kita melihat iklan kerja yang lebih menyerupai audisi pemilihan model majalah daripada ajakan mencari talenta.
Tulisan yang sebagian persyaratan loker seperti “usia maksimal 30 tahun,” “berpenampilan menarik,” atau “belum menikah” menjadi mantra yang membatasi kesempatan banyak orang untuk melamar pekerjaan. Seolah-olah kompetensi harus datang dari wajah muda, tubuh ideal, dan hati yang masih sendiri.
Kita lupa, mungkin sengaja melupakan, bahwa pekerjaan seharusnya soal kemampuan, bukan kondisi sosial atau estetika wajah. Tapi siapa yang peduli? Dunia kerja Indonesia selama ini lebih menyukai yang nyaman di mata daripada yang kuat di kepala.
Alhasil ketika Kemenaker mengeluarkan larangan ini, kita pantas memberi tepuk tangan sekaligus bertanya. Mengapa baru sekarang? Di saat ribuan orang sudah terpinggirkan karena tak cukup muda, tak cukup enak dilihat dan sudah menikah, pupus harapannya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.
Kebijakan ini bukan hasil kesadaran tiba-tiba. Kebijakan ini lahir dari tekanan publik, dari suara-suara marahnya masyarakat di media sosial, dari kisah pekerja yang diabaikan karena tidak sesuai selera pasar pekerjaan.
Seperti biasanya, negara bertindak bukan sebagai pelopor, melainkan sebagai peredam. Tapi setidaknya ia bergerak. Dalam dunia birokrasi yang lamban dan penuh basa-basi, gerak sekecil ini tetap patut dicatat.
Namun, tantangan baru saja dimulai. Apa gunanya aturan jika tidak ada mekanisme pengawasan? Apakah Kemenaker punya cukup tangan dan mata untuk memantau setiap lowongan kerja yang beredar di ribuan kanal digital?
Tanpa pengawasan yang nyata, aturan ini bisa jadi kosmetik belaka. Permukaan yang tampak cantik, tetapi tak mengubah cara berpikir perusahaan, HRD, dan sistem kerja kita secara mendalam.
Lagi pula, diskriminasi bisa berpindah bentuk. Dari syarat tertulis menjadi seleksi diam-diam. Dari “good looking” menjadi “energik”. Persyaratan “belum menikah” menjadi “siap bekerja tanpa gangguan keluarga alias siap lembur”.
Sesungguhnya yang perlu dibenahi bukan hanya kalimat di iklan lowongan saja, tetapi juga cara melihat manusia atau pelamar kerja dalam dunia pekerjaannya. Apakah ia subjek yang dihargai karena kompetensi? Atau sekadar objek yang dipoles agar tampil sedap di depan klien?
Mari kita belajar dari luar negeri. Di Jerman, undang-undang ketenagakerjaan melarang perusahaan menanyakan usia, status pernikahan, hingga agama dalam proses rekrutmen.
Beda halnya di Amerika Serikat, ada Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) atau Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja. EEOC ini merupakan lembaga independen pemerintah federal yang bertugas menegakkan hukum agar tidak terjadi diskriminasi di tempat kerja. Lembaga ini melindungi karyawan dan pelamar kerja dari perlakuan tidak adil berdasarkan hal-hal seperti ras, warna kulit, agama, jenis kelamin (termasuk kehamilan, orientasi seksual, identitas gender), asal negara, usia (40 tahun ke atas), disabilitas, dan informasi genetik. Komisi ini bertujuan untuk menjadikan tempat kerja lebih inklusif dan adil.

Maka, jangan heran bila viralnya tagar kabur aja dulu sempat mengusik telinga pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat kita menilai tidak ada rasa keadilan dalam perekrutan pelamar kerja.
Sementara itu, beberapa perusahaan multinasional di Eropa menggunakan blind recruitment atau rekrutmen tanpa identitas. Blind recruitment merupakan pendekatan dalam perekrutan yang bertujuan meminimalkan bias dengan cara menghapus informasi pribadi pelamar yang tidak berkaitan langsung dengan kualifikasi pekerjaan. Data pribadi seperti nama, gender, usia, riwayat pendidikan, hingga foto umumnya dihilangkan dari CV atau formulir lamaran. Tujuannya agar perusahaan dapat menilai kemampuan, pengalaman, serta keahlian pelamar secara lebih objektif, tanpa dipengaruhi oleh prasangka atau stereotipe tertentu.
Di Indonesia? Kita masih berkutat di level penampilan. Banyak perusahaan menjadikan media sosial pelamar sebagai alat penilaian, bukan untuk profesionalisme. Mereka menanyakan alamat medsos seperti Instagram, X, Facebok, dan TikTok untuk memastikan cocok tidaknya tampilan sang pelamar.
Belum lagi kasus HRD yang terang-terangan bertanya soal rencana pernikahan, jumlah anak, sampai kesiapan menyesuaikan jam kerja tanpa komplain. Ini bukan rekrutmen, ini interogasi sosial yang disamarkan dengan kemeja korporat.
Kebijakan baru Kemenaker ini permulaan. Akan tetapi, perubahan hakiki hanya akan terjadi jika perusahaan atau mitra industri benar-benar objektif dan adil bagi pelamar kerja.
Sebab dunia kerja bukanlah kontes kecantikan. Dunia kerja itu arena kompetensi, etika, dan dedikasi. Dan orang-orang terbaik tidak selalu hadir dalam paket muda, single, dan fotogenik.
Membuka pintu kerja bagi semua latar belakang bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal efektivitas. Riset global menunjukkan bahwa keragaman usia dan latar belakang dalam tim justru meningkatkan produktivitas serta kreativitas.
Jadi, menghapus syarat usia, wajah dan status bukan berarti menurunkan standar. Justru ini menaikkan martabat dunia kerja, dari yang sempit dan seragam, menuju yang luas dan inklusif.

Related Articles

Back to top button