Opini

Kesalahan Berlogika Dalam Keseharian

Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Pernahkah pembaca mendengar pendapat tidak masuk akal dari seseorang. Pembaca mendengar cerita teman yang sedang patah hati, dia diputusin oleh pacar beretnis Tionghoa. Lalu opini final teman pembaca adalah “Semua orang Cina itu pelit” atau “Semua laki-laki jahat”. Tidak jarang kesimpulan itu keluar dari mulut orang seperti kita. Tetapi yang terjadi adalah kita menyimpulkan hal dengan keliru. Kesalahan ini dilakukan oleh oleh banyak manusia, lintas generasi bahkan gender. Apa penyebabnya? Jawabannya: Logical Fallacy (kesalahan berlogika).
Logika, kata yang sering kita dengar. Begitu juga dengan logis. Pembaca pasti pernah mendengar reff ini dari salah satu musisi Indonesia. “Cinta ini…Kadang-kadang tak ada logika”. Awam, kita menangkap arti logika adalah masuk akal. Sebenarnya masuk akal itu arti dari kata logis. Jadi apa itu logika, sebuah pola pikir untuk menyimpulkan sesuatu. Hal yang sering diabaikan adalah kita mengira menyimpulkan sesuatu hanya di saat-saat tertentu. Kenyataanya setiap keputusan kita, punya hubungan dengan membuat kesimpulan. Singkatnya kita berpikir setiap waktu, baik dalam kondisi sadar dan bawah sadar. Untuk konteks bawah sadar kemudian dikenal sebagai kebiasaan.
Sedikit intermezo, kebiasaan datang dari perilaku sadar yang terus berulang. Maka apa yang kita lakukan selama ini adalah akumulasi bentuk pola pikir kita sendiri, yang disistemasikan oleh otak sebagai way of life. Contoh pernyataan di paragraf pertama adalah salah satu contoh dari Logical Fallacy, yaitu Hasty Generalization. Fakta kita disakiti oleh lelaki, pengalaman pernah ditipu, bahkan kondisi traumatis memengaruhi kita berpikir. Bukan berarti kita disakiti oleh orang Sunda kemudian kita berpikir semua orang Sunda jahat. Kesimpulan yang benar adalah “Sebagian orang Sunda jahat”. “Sebagian” yang dimaksud adalah orang yang kita maksud, dan bukan semua orang. Kata “Sebagian” tidak menunjukkan angka pasti. Maka itu diperbolehkan.
Logical Fallacy selanjutnya adalah ad hominem. Menyandarkan pesan pada sang pembicara. Di antara kita pasti pernah bilang begini, “Eh kata Pak Ustad A kita harus jadi orang yang pemaaf”. Seolah-olah menjadi pemaaf hanya boleh dikatakan oleh ustad saja, idealnya kita tetap harus jadi orang pemaaf, walaupun yang memberi saran adalah si pendendam. Di atas itu satu contoh positif saja, negatif lebih sering kita temui. “Eh jangan dengerin nasehat si bapak itu, sikapnya pelit”. Ibu-ibu gosip, mangkal di tukang sayur, veteran akan kalimat tadi. Dibayangannya hanya orang baik yang boleh berkata baik, dan sebaliknya. Dalam berlogika yang benar, kita harus menerima kalimat benar walaupun yang menyampaikan tidak berbanding lurus dengan isi kalimat.
Logical Fallacy yang lain adalah Straw Man. Berdiskusi dan berdebat itu hal manusiawi dan bukti bahwa kita makhluk berintelektual tinggi. Tetapi seringkali kita harus memihak satu golongan agar apa yang pembahasan menjadi indepth. Contoh, “Saya setuju dengan keputusan Presiden Prabowo soal investasi Danantara. Daripada uangnya dibuat untuk hal lain lebih baik kita alirkan kesitu, toh juga kalau untung kita dapat manfaatnya”. Pendapat ini melihat kelebihan investasi dan efisiensi yang tepat. Sebagian lawan debat pasti menggunakan Straw Man sebagai pondasi berargumen. Begini kurang lebih, “Oh, kamu setuju dengan efisiensi anggaran. Artinya kamu tidak peduli dong pendidikan bukan fokus utama. Wah kamu pasti buzzer Prabowo. Penting loh pendidikan daripada makan siang gratis”. Terlihat lawan bicara tidak mengungkit sama sekali soal investasi dan efisiensi yang tepat. Malahan menyederhanakan argumen dan membuat seakan-akan argumen pertama sangat lemah dan pro pemerintah. Penyederhanaan ini membuat argumen lawan menjadi mudah diserang dan pelontar argumen terakhir yang benar.
Keempat ada False Dilemma. Dalam metode ini kita dituntut untuk memilih dua pilihan yang sebenarnya sama-sama penting dan menyepelekan pilihan lain. Permasalahan yang pernah marak dan sangat panas itu soal ibadah umat Islam, yaitu qunut. Ketika kita tidak membaca qunut kala salat subuh, kita dituduh Muhammadiyah, dan sebaliknya. Yang lebih penting daripada qunut ialah salat subuh itu sendiri. Percuma kita berdebat siang-malam soal qunut, namun tatkala azan subuh berkumandang semuanya tidur. Inilah yang perlu diperhatikan oleh semua orang, tidak terkhusus umat Islam saja. Ketika kita tidak turun demo ke jalan, bukan berarti kita mendukung pemerintah. Boleh jadi kita sibuk atau ada alasan lain. Solusi dari Dalse dilemma itu memandang segala hal dari sudut pandang yang berbeda. Alhasil kita menjadi toleran dan tidak terlalu ekstrem pada hal-hal tertentu.
Plang kereta telah turun, semua kendaraan berhenti menunggu hingga plang pembatas naik. Tetapi, ada satu orang yang mencari jalan pintas dan melewati rel meskipun plang belum naik dan kereta belum lewat. Di antara salah satu pembaca pasti menilai, “Wah benar juga yang dilakukan orang ini. Bisa tiba lebih cepat dan terhindar dari macet”. Jelas itu perbuatan yang salah. Ketika ditanya, “Kenapa kamu melakukan hal itu?” kita menjawab, “Banyak kok yang kaya gitu. Bukan saya saja, lihat tuh orang lain”. Kita terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan banyaknya yang melakukan atau mempercayai. Ini disebut Bandwagon Fallacy. Menyontek, terlambat, kencing sembarangan, hal-hal kecil di sekitar kita salah satunya disebabkan oleh Bandwagon Fallacy.
Sesungguhnya sangat banyak Logical Fallacy yang terjadi, seperti Appeal to Authority (menggunakan argumen yang mempunyai otoritas), Appeal to Emotion (menggunakan emosi dalam berargumen), Appeal to Tradition (menganggap hal benar dan salah dari tradisi) dan lain-lain. Semakin banyak jenis Logical Fallacy, menandakan keterpurukan logika manusia itu nyata dan di mana-mana. Hal itu menjadikan kabar buruk, tidak hanya orang biasa bahkan orang pendidikan juga melakukan hal yang sama. Maka dari itu masalah logika ini perlu diseriusi oleh negara dan institusi pendidikan.
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah mengajarkan ilmu logika sedari dini untuk semua orang. Karena basis manusia adalah otak untuk berpikir, dan fungsi utama logika adalah membantu manusia berpikir secara baik dan benar. Maka hal ini sangat membantu umat manusia kedepannya, terutama Indonesia.
Logical Fallacy adalah jebakan berpikir yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari generalisasi, Ad Hominem, Straw Man, False Dilemma, hingga bandwagon fallacy. Kesalahan-kesalahan ini tidak hanya merusak kualitas argumen, tetapi juga dapat memengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain dan mengambil keputusan. Sayangnya, Logical Fallacy sering kali dilakukan tanpa disadari, bahkan oleh orang-orang yang terdidik sekalipun.

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi kita untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya berpikir logis dan kritis. Pendidikan logika sejak dini dapat menjadi solusi jangka panjang untuk membentuk generasi yang mampu berpikir rasional dan menghindari kesalahan berlogika. Dengan memahami dan menghindari Logical Fallacy, kita tidak hanya menjadi individu yang lebih cerdas, tetapi juga berkontribusi menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan terbuka terhadap perbedaan pendapat.
Mari kita mulai dari diri sendiri: berpikir sebelum berbicara, mengevaluasi argumen dengan kritis, dan selalu mencari kebenaran di balik setiap pernyataan. Dengan begitu, kita dapat membangun budaya berpikir yang sehat dan menghindari jebakan-jebakan logika yang merugikan.***

Related Articles

Related Articles

Back to top button