Pemilik Apotek Pasuketan Kalah Gugatan Terkait Hak Waris PBF di PN Kota Cirebon
kacenews.id-CIREBON-BS alias Benjamin Setiabudi yang merupakan pemilik apotek legendaris di Kota Cirebon, Apotek Pasuketan, kalah gugatan atas hak waris di tubuh Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT Carmella Gustavindo. Dalam gugatan ini, Benjamin melawan kakaknya, yaitu Indrawati Setiabudi.
PN Kota Cirebon memutuskan Benjamin Setiabudi yang merupakan tergugat I dan sang istri yang merupakan tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, tergugat memutuskan untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi Bandung.
Kuasa Hukum Indrawati Setiabudi, H Taryadi didampingi partner, Mohamad Nurjaya dan Holke Y mengatakan, Benjamin menyatakan banding pada 2 Desember 2025.
“Selanjutnya, klien kami memiliki hak untuk kontra banding, nanti kita tunggu. Namun, kami siap menghadapi banding ini,” ujar Taryadi.
Ia menambahkan, jika nanti inkrah maka para tergugat yaitu Benjamin dan istrinya memiliki kewajiban membayar tapi jika tidak diindahkan maka PN akan melakukan eksekusi.
“Eksekusi ini misalnya, bisa saja perusahaan dibekukan atau ada barang yang dijual atau dilelang. Tapi kalau baik-baik ya tinggal bayar saja kepada penggugat,” katanya.
Menurutnya, dalam putusan perkara perdata dengan nomor: 31/Pdt.G/2025/PN.CBN yang dikeluarkan oleh PN Kota Cirebon, disebutkan dengan jelas bahwa Indrawati Setiabudi dan Benjamin Setiabudi merupakan anak kandung dari Suwito Setiabudi dan Indriani Tanudjaja yang keduanya telah meninggal dunia, sehingga Indrawati dan Benjamin merupakan ahli waris yang sah atas kedua orang tua mereka.
“Kemudian, dalam putusan tersebut juga dijelaskan bahwa Almarhumah Ny Indriani meninggalkan warisan berupa saham di PT Carmella Gustavindo sebanyak 25 lembar saham atau 5 persen atau uang deviden yang sejak januari 2015 sampai dengan Desember 2024 sejumlah Rp 4,4 miliar, haknya tersebut tidak pernah diterima dari PT Carmella Gustavindo,” kata Taryadi.
PN Kota Cirebon juga menyatakan uang deviden milik Almarhumah Ny Indriani Tanudjaja sejumlah Rp 4,4 miliar tersebut dibagi dua secara merata kepada penggugat dan tergugat I, masing-masing mendapatkan setengah bagian.
“Kemudian PN Kota Cirebon juga menghukun tergugat I dan II secara tanggung renteng untuk membayar atau memberikan hak penggugat berupa uang sejumlah Rp 2,2 miliar kepada penggugat secara tunai, seketika dan sekaligus, dan menghukum tergugat 1 dan II untuk tunduk dan patuh terhadap isi putusn tersebut,” kata Taryadi.
Taryadi juga menegaskan, terdapat bukti transfer dari Almarhumah Ny Indriani Tanudjaja kepada Carmella Gustavindo di awal pendirian perusahaan dan nama Indriani Tanudjaja pun ada di akte perusahaan.
“Hukum sudah memutuskan jika Ibu Indrawati Setiabudi sudah menang gugatan, tapi mau naik banding,” katanya.
Taryadi menambahkan, dalam gugatan ini, kliennya gagal menghadirkan saksi mantan karyawan di PT Carmella Gustavindo karena ada dugaan intimidasi sehingga ketakutan.
“Klien saya punya hubungan yang baik dengan saksi ini. Almarhumah Ibu Indriani Tanudjaja sudah wanti-wanti kepada saksi ini saat masih bekerja dulu agar menjaga Carmella Gustavindo. Saksi ini adalah mantan sales manager yang memegang data omzet Carmella Gustavindo yang tugasnya memonitor sales dan operasional sehari-hari di Carmella Gustavindo. Namun pas hari H dia akan hadir sebagai saksi di PN, dia enggak hadir,” katanya.
Sementara itu, Indrawati Setiabudi mengatakan pihaknya menyayangkan Benjamin Setiabudi melakukan upaya naik banding.
“Untuk pencitraan kepada masyarakat Cirebon, adik saya dan istrinya berjuang mati-matian untuk menampakkan betapa hebatnya mereka. Tapi begitu bayar kewajibannya ke ibu dan kepada saya, mereka selalu beralasan tidak ada uang,” kata Indrawati.
Sebelumnya diberitakan, seorang warga, Indrawati Setiabudi (61 tahun) menggugat saudara kandungnya yang tak lain adik sendirinya, Benjamin Setiabudi (54 tahun), gara-gara hak waris atas Pedagang Besar Farmasi (PBF) ternama di Kota Cirebon, PT Carmella Gustavindo, yang beralamat di Jalan Lawanggada, Kota Cirebon.
“Ibu Indriani Tanudjaja bersama Benjamin Setiabudi yang merupakan tergugat I telah mendirikan sebuah perseroan yang diberi nama PT Carmella Gustavindo yang bergerak di bidang PBF yang juga di dalamnya terdapat alat-alat kesehatan. Di perusahaan tersebut, Benjamin adalah direktur, pemilik dan pemegang atas 450 lembar saham, kemudian Ibu Indriani adalah komisaris, pemilik dan pemegang 25 lembar saham,” ujar Taryadi.
Dana untuk modal mendirikan PT Carmella Gustavindo sendiri diduga berasal dari hasil meminjam Benjamin kepada sang ibunda, Indriani. Peminjaman dilakukan secara dicicil selama bertahun-tahun, hingga total pinjaman tersebut mencapai Rp 11 miliar. Sang ibu, Indriani, meminta agar uang pinjaman tersebut dibayar, namun diketahui Benjamin tidak membayar uang pinjaman tersebut secara full, yaitu hanya Rp 2,4 miliar yang dicicil sebesar Rp 50 juta/bulan yang kemudian meningkat menjadi Rp 200 juta/bulan.
“PT Carmella Gustavindo maju dan berkembang pesat, namun pada 17 Juli 2021 Ibu Indriani meninggal dunia. Seharusnya, setelah Ibu Indriani meninggal dunia, hak atas saham dan kedudukannya selaku komisaris diwariskan kepada ahli warisnya, yaitu Ibu Indrawati Setiabudi selaku penggugat,” ujarnya.
Taryadi menambahkan, pada Juli 2022 Benjamin bersama sang istri selaku tergugat II melaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa yang seharusnya dihadiri oleh Indrawati selaku ahli waris dari Indriani, namun Indrawati diketahui tidak diundang.
“Dengan tidak dilibatkannya penggugat dalam rapat umum pemegang saham luar biasa ini, perbuatan Benjamin dan istrinya telah merugikan pihak Ibu Indrawati dan karenanya Benjamin dan istrinya telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam rapat itu juga diketahui jika komisaris yang tadinya dijabat oleh Ibu Indriani, kini diubah komisaris menjadi dijabat oleh istri Benjamin,” katanya.
Tak habis sampai di situ, Benjamin juga membuat surat pernyataan secara sepihak yang di dalamnya menjelaskan bahwa kepemilikan saham atas ibunya Indriani sebanyak 25 lembar atau 5 persen, menjadi miliknya.
“Surat pernyataan sepihak itu juga telah membuat kerugian bagi Ibu Indrawati selaku ahli waris dari Ibu Indriani, dan karenanya bersifat melawan hukum sehingga harus ditolak dan dikesampingkan,” tegas Taryadi.
Dalam perjalannya, PT Carmella Gustavindo terus melesat, dari 2015 hingga 2024 laba bersihnya mencapai Rp 88 miliar lebih. Menurut Taryadi, dari nilai Rp 88 miliar lebih itu, 5 persennya adalah hak Indriani Tanudjaja selaku pemilik 25 lembar saham atau sebesar Rp 4 miliar lebih.
“Sampai dengan Ibu Indriani tutup usia pada 2021 dan sampai gugatan ini didaftarkan ke PN Cirebon begitu pula Ibu Indrawati sebagai ahli waris Ibu Indriani belum pernah menerima deviden sejumlah tersebut. Ibu Indriani kan memiliki dua anak, yaitu Ibu Indrawati dan Benjamin yang sama-sama sebagi ahli warisnya, sehingga jika dibagi dua dari Rp 4 miliar tersebut maka masing-masing ahli waris seharusnya mendapatkan bagian Rp 2 miliar lebih,” katanya.
Persoalan antara adik kakak ini pun tak hanya terjadi di PT Carmella Gustavindo. Konflik hampir serupa juga terjadi di tubuh Apotek Pasuketan. Di Apotek legendaris yang sudah berdiri di era 1960-an ini pun, kepemilikan saham dirasakan tidak adil bagi Indrawati. Sebab, saham miliknya yakni 25 persen setelah ibunya meninggal dunia, sulit untuk didapatkan.(Iskandar)


