Menjadi Warga Negara Digital
Oleh: Wisnu Hatami
Dosen Pendidikan Kewarganegaraan UINSSC
Kita hidup pada masa di mana batas ruang fisik dan ruang digital semakin kabur. Aktivitas manusia berada pada dua dunia yang saling terkait yaitu dunia nyata tempat manusia untuk berinteraksi secara langsung, dan dunia maya tempat gagasan, opini dan identitas lain dibuat. Hari ini sangat berbeda dengan 20 tahun lalu ketika dunia nyata dan dunia maya masih bisa dipisahkan. Saat ini, semuanya saling terkait. Globalisasi mempercepat pergeseran perubahan perilaku warga negara. Keputusan seseorang di media sosial dapat berdampak pada relasi sosialnya di lingkungan nyata, sementara peristiwa di dunia fisik seketika dapat memunculkan percakapan digital yang tak mengenal jarak dan waktu. Dalam kondisi inilah konsep warga negara digital mengambil peranan penting.
Ribble (2015) menyebut konsep warga negara digital sebagai individu yang memahami bagaimana berperan dalam lingkungan digital dengan cara yang bertanggung jawab. Namun dalam praktiknya, menjadi warga negara digital jauh lebih rumit daripada sekadar tahu aturan. Perubahan perilaku warga negara bisa kita lihat dengan jelas. Ada orang yang di kehidupan nyata sangat tenang, namun di ruang digital menjadi tegas dan vokal. Ada juga yang tidak banyak bicara, tetapi aktif membagikan informasi. Di era ini, kita berhadapan dengan fenomena di mana opini publik bisa dibentuk oleh potongan video, meme, dan statistik yang belum tentu akurat.
Saat ini, banyak orang yang menyamakan kemampuan digital dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan perangkat digital. Sebetulnya, dua hal ini berbeda secara konsep. Kemampuan digital adalah kemampuan memahami konsekuensi dari tindakan yang dilakukan di dunia digital. Seseorang yang mengunggah komentar hate speech bisa jadi melakukannya hanya beberapa detik, namun akan berdampak sangat panjang. Beberapa kali kita pernah mendengar tentang kasus seperti ini. Maka, kita bisa menyadari bahwa teknologi digital khususnya media sosial bekerja dengan logika pengarsipan yaitu jejak tetap ada, meski pelakunya sudah lupa, atau saat ini disebut sebagai jejak digital.
Karena itu, keterampilan digital menjadi kompetensi dasar warga negara modern. Keterampilan ini mencakup kemampuan mengelola identitas, memahami aturan di dunia digital, mempraktikkan etika berkomunikasi, serta menganalisis konsekuensi sosial dari setiap tindakan yang dilakukan. Livingstone (2004) menegaskan bahwa kompetensi digital terletak pada kemampuan kritis dalam menggunakan informasi dan memproduksi konten.
Keterampilan digital erat berkaitan dengan literasi digital. Literasi digital mencakup kemampuan memahami, menilai, memverifikasi, serta mengontekstualisasi informasi yang ditemui dalam jaringan. Hobbs (2017) menyatakan bahwa literasi digital adalah fondasi bagi warga negara yang ingin berpartisipasi secara sehat di ruang publik modern. Seorang warga negara yang mampu memilah informasi akan lebih siap membangun opini berdasarkan argumen yang kuat, Warga negara yang literat adalah mereka yang mampu menjeda sejenak sebelum bereaksi, menimbang konteks, dan memeriksa sumber. Kemampuan inilah yang seringkali dianggap masih kurang, maka muncul fenomena hoax di masyarakat.
Selain keterampilan dan literasi, kesiapan warga negara digital juga ditentukan oleh digital readiness. Konsep ini membahas pada kesiapan mental, sosial, dan kompetensi untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat. Warga negara yang memiliki digital readiness yang tinggi lebih mampu menavigasi ketidakpastian, menggunakan teknologi untuk pengembangan diri, dan berkontribusi dalam ekosistem digital secara bertanggung jawab. Di Indonesia, persoalan digital readiness semakin terasa. Banyak warga sangat aktif di ruang digital, tetapi tidak semua memiliki keterampilan untuk menavigasi dampak sosialnya. Kita bisa melihatnya dari bagaimana isu yang sedang berkembang bisa bergeser menjadi konflik identitas. Berita pelintiran bisa tetap punya ruang, ataupun narasi dari buzzer masih bisa dianggap hal yang lumrah. Persoalan lain yaitu ketika ada seseorang yang sedang vocal menyuarakan isu, orang tersebut akan mendapatkan serangan dari warganet lain yang tidak tahu asalnya dari mana. Maka, ini bukan hanya soal etika, tetapi soal kapasitas kewargaan digital.
Pada akhirnya, menjadi warga negara digital menuntut kita sadar bahwa apa yang kita lakukan di dunia maya tetap membawa dampak di kehidupan nyata. Jejak digital yang kita lakukan di media sosial menjadi bagian dari siapa kita sebagai warga negara. Setiap unggahan, komentar, atau respon meninggalkan pengaruh untuk orang lain maupun untuk diri sendiri. Karena itu, kita perlu menemukan keseimbangan dalam aktivitas di media sosial yaitu bebas berekspresi tanpa melukai, memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan kejernihan berpikir, serta hadir di dunia tanpa melepaskan nilai-nilai yang membuat kehidupan bersama tetap sehat dan bermakna. Mari jadikan ruang digital sebagai ruang untuk berekspresi dan mengembangkan diri.***





