Identitas Bangsa dan Tiga Stanza Indonesia Raya
Oleh: Angga Putra Mahardika
Mahasiswa KPI UIN SSC
Lagu Indonesia Raya selalu kita nyanyikan selama 12 tahun. Di lapangan upacara, ditarik menggunakan tambang, ditemani instrumen orkestra. Kita semua sudah tahu, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku. Kita berdiri di tanah Indonesia, kita minum air dari Indonesia. Kita rela untuk menumpahkan darah demi negara. Serta menjaganya dari apa pun.
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku. Kita mengaku bangsa Indonesia, dikuatkan sumpah pemuda. Diulangi lagi di lirik selanjutnya. Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya. Konteks lagu ini pertama dinyanyikan secara melodi tahun 1928, kongres pemuda II oleh Wage Rudolf Supratman—maka dari itu ada kata bersatu untuk melawan penjajah. Hiduplah tanah untuk memberi makan, hiduplah negeriku untuk memberi perlindungan, dan semuanya.
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya. Tidak cukup dengan tanah, air, dan bangsa. Indonesia juga butuh jiwa dan badan untuk berdiri. Dibutuhkan merdeka untuk itu, dilanjut oleh lirik selanjutnya. Indonesia Raya, merdeka-merdeka. Tanahku negriku yang kucinta. Indonesia Raya, merdeka-merdeka. Hiduplah Indonesia raya. Ini adalah semacam harapan Indonesia segera merdeka. Orang dulu sangat mencintai Indonesia dan ingin lekas merdeka. Dan segera hidup di dalamnya, tanpa embel-embel bangsa lain.
Itulah kurang lebih tafsiran subjektif penulis akan lagu Indonesia Raya. Penuh akan semangat, cinta, pengakuan, harapan, dan perjuangan masa lalu yang ingin lepas dari kolonialisme. Selama 12 tahun, itu yang kita ingat. Selama itu pula hanya itu yang kita tahu. Sebenernya Indonesia Raya juga seperti lagu lainnya, punya beberapa stanza. Lirik yang selama ini kita nyanyikan adalah 1 stanza.
Apakah ada pengaruh antara penyayian 1 stanza dengan kesadaran masyarakat Indonesia. Tujuan esai ini adalah membedah 3 stanza lagu negeri kita, dan berusaha mengaitkannya pada kehidupan sehari-hari. Apakah selama ini kita hidup tanpa makna lengkap Indonesia Raya? Lagu yang menjadi alasan, mengapa kita harus bersikap nasionalisme.
Bait kedua, bait yang jarang orang dengarkan, terkhusus milenial dan gen z. Karena tidak diajarkan di sekolah, diberitahu pun hanya segelintir sekolah saja. Padahal fungsi dari bait kedua ini memberikan rasa semangat yang berbeda. Rasa semangat itu datang karena tidak putus asa melawan penjajahan.
Indonesia, tanah yang mulia. Tanah kita yang kaya. Tidak lagi mengaku tanah itu sebagai Indonesia, melainkan menganggapnya mulia. Menurut KBBI, mulia artinya berbudi luhur dan terhormat. Dengan melabeli hal itu, perasaan yang muncul pun lebih megah dan kokoh di hati. Juga menyadari tanah yang kaya, karena memang hampir semua rasa di dunia ini, awalnya berasal dari Indonesia—India juga mengambil peran. Hal itu dibuktikan dengan perdagangan rempah dan berdirinya VOC.
Di sanalah aku berdiri. Untuk s’lama-lamanya. Kita, rakyat Indonesia masih berdiri hingga sekarang. Namun tidak lagi menjaga negeri kami, melainkan tinggal selama-lamanya di sini. Apa pun yang terjadi, kami tinggal di sini. Ketika masih banyak koruptor di negara ini, kita masih di sini. Apabila banyak taat #kaburajadulu karena koruptor, bisa saja sebab stanza kedua ini tidak dinyanyikan.
Indonesia, tanah pusaka. Pusaka kita semuanya. Tidak hanya mulia, ini adalah harta kita, warisan kita, barang keramat yang memiliki kekuatannya sendiri. Maka dari itu, kita berdoa agar merasa cukup dan bahagia. Marilah kita mendoa. Indonesia bahagia.
Inilah doanya: Suburlah tanahnya. Suburlah jiwanya. Bangsanya rakyatnya, semuanya. Sadarlah hatinya. Sadarlah budinya. Untuk Indonesia raya.
Doa itu meliputi semuanya, penjuru negeri, roh atau psikologis penduduknya, kebangsaan agar mampu bertahan dan terus mencintai negeri ini. Semoga disadarkan hatinya dari kepentingan golongan elite, sadarlah perilakunya karena kita ini orang Indonesia. Dan semua doa itu tiada lagi, selain untuk Indonesia.
Bait ketiga juga tak kalah berperasaan. W. R. Supratman membuat lirik ini agar tahu, siapa kita sebenarnya. Banyak sekali identitas yang disematkan beliau pada bait ketiga ini. Ada “suci”, “sakti”, “sejati”. Indonesia, tanah yang suci. Tanah kita yang sakti. Di sanalah aku berdiri. Menjaga ibu sejati.
Tidak hanya suci dan sakti, bahkan di lagu lain. Indonesia itu kolam susu, batu dan kayu jadi tanaman. Itulah bukti, bahwa tanah kita berseri, kaya akan flora dan fauna. Indonesia tanah berseri. Tanah yang aku sayangi. Marilah kita berjanji. Indonesia abadi. Dan mari berjanji, negara ini akan abadi selamanya, meski dunia hancur sekali pun.
S’lamatlah rakyatnya. S’lamatlah putranya. Pulaunya, lautnya, semuanya. Selamatkan kalian penduduk Indonesia. Terjagalah kalian dari mara bahaya, anak Indonesia. Semuanya, semoga tetap selamat. Selamat dari ancaman asing, dari ancaman barat: CIA, ancaman-ancaman yang berusaha menodai perjuangan alami rakyat Indonesia. Majulah negerinya. Majulah pandunya. Untuk Indonesia raya.
Banyak sekali jurnal dan penelitian yang membahas lagu Indonesia Raya versi 3 stanza ini. Tetapi, rata-rata lagu ini tidak dinyanyikan di ranah pemerintahan, hanya di wilayah pendidikan dan komunitas saja. Tandanya, sudah ada sinyal-sinyal dari bawah untuk kembali menyanyikan 3 stanza ini. Tinggal dari pemerintahnya saja memberikan persetujuan atau tidak.***



