Opini

Petani Sejahtera, Lahan Terjaga Sawit Diselamatkan

Oleh: Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MSi
(Anggota Komisi IV DPR RI)

DALAM Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Pertanian, saya menyampaikan sejumlah catatan strategis untuk meneguhkan arah pembangunan pertanian nasional.

Catatan ini bukan sekadar evaluasi, tetapi tawaran kerangka solusi agar sektor pertanian tetap menjadi penopang ekonomi rakyat di tengah ketidakpastian iklim, tantangan alih fungsi lahan, dan dinamika tata kelola komoditas strategis.

Fondasi Kebangkitan Pertanian

Indonesia diperkirakan mencapai swasembada beras pada tahun ini. Produksi nasional sekitar 34 juta ton dan konsumsi 31 juta ton menandai surplus yang penting bagi ketahanan pangan. Ini merupakan capaian signifikan dan menjadi indikasi bahwa pertanian kembali menemukan momentumnya.

Kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) dari 119 menjadi 124,3 serta serapan anggaran Kementerian Pertanian yang diproyeksikan mencapai 93,8% pada akhir tahun adalah indikator keberhasilan. Namun capaian ini harus dijaga dengan kebijakan berbasis data dan tata kelola berkelanjutan.

Menaikkan Pendapatan Riil Petani

Di balik capaian statistik, terdapat persoalan mendasar: pendapatan riil petani masih rendah. Data BPS menunjukkan rata-rata penghasilan petani hanya Rp 2,4 juta per bulan, jauh dari standar layak menurut Bank Dunia sekitar Rp 7,5 juta per bulan.

Dengan demikian, indikator kesejahteraan tidak boleh hanya bertumpu pada NTP. Kebijakan publik harus mengarah pada peningkatan pendapatan riil petani melalui skala usaha yang lebih memadai, akses pasar yang lebih stabil, dan penguatan kelembagaan petani.

Risiko Iklim

Swasembada tidak boleh berhenti di beras. Indonesia memiliki peluang besar untuk mandiri di jagung, kedelai, gula, dan daging. Namun demikian, ketahanan pangan harus dibangun dengan mempertimbangkan risiko iklim.

Surplus beras tahun ini sangat dipengaruhi oleh El Niño yang relatif pendek; tahun-tahun mendatang bisa berbeda.

Karena itu, diperlukan strategi mitigasi yang komprehensif agar produksi tidak bergantung pada variabilitas cuaca.

Mitigasi Biologis

Perubahan iklim menuntut pengembangan varietas tanaman yang tahan terhadap suhu tinggi, cekaman garam, dan cuaca ekstrem. Pengembangan varietas climate-resilient tidak hanya penting untuk padi, tetapi juga untuk komoditas seperti jagung dan kedelai.

Mitigasi biologis ini harus dipercepat, karena menjadi pilar utama bagi keberlanjutan pertanian pada dekade mendatang.

Urgensi Pupuk Organik

Di Pulau Jawa, rata-rata lahan garapan padi hanya 0,4 hektar, padahal skala ekonomi minimal adalah 2 hektar. Kondisi ini membuat pendapatan petani sulit naik.

Sementara itu, alih fungsi lahan mencapai 60.000 hektar per tahun, mengancam keberlanjutan produksi pangan nasional.

Secara agroekologi, Jawa dan Bali adalah kawasan tersubur di Indonesia—bahkan di dunia. Karena itu, alih fungsi lahan pertanian ke perumahan harus dihentikan. Konservasi lahan harus menjadi prioritas nasional.

Selain itu, kualitas tanah menurun akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan. Negara-negara seperti Jepang telah kembali ke pupuk organik hingga 70% dari total pemakaian.

Indonesia perlu mengikuti langkah tersebut melalui audit ketat terhadap produsen pupuk organik, memperbesar produksi yang berkualitas, dan mendorong petani kembali menggunakan pupuk ramah lingkungan.

Irigasi dan Hama

Rantai pasok yang terfragmentasi membuat harga komoditas tidak stabil: naik saat paceklik, anjlok saat panen. Ini merugikan petani dan melemahkan insentif produksi. Perbaikan manajemen rantai pasok harus menjadi prioritas.

Di lapangan, petani juga mengeluhkan kualitas alsintan yang menurun. Combine harvester yang berganti merek menyebabkan ketidakpastian mutu.

Irigasi pun banyak yang rusak dan tidak memadai. Perbaikan alsintan dan rehabilitasi irigasi perlu diakselerasi agar produktivitas meningkat.

Selain itu, serangan tikus dan hama masih marak di Jawa Barat, terutama Indramayu. Penanganan hama membutuhkan pendekatan terpadu dan dukungan anggaran yang memadai.

Kebijakan Tidak Tepat

Sawit adalah penopang besar ekonomi nasional: sekitar 70% CPO dunia berasal dari Indonesia, dan devisa sawit mencapai USD 39 miliar. Namun tata kelolanya terganggu oleh tindakan Satgas PKH dan Danantara yang cenderung tergesa-gesa. Banyak perusahaan baik yang terkena imbas, sementara oknum buruk tetap lolos.

Saya menegaskan bahwa kebijakan harus berpijak pada fakta lapangan, kajian ilmiah, dan prinsip keadilan: Pengusaha nakal harus ditindak tegas, perusahaan patuh dan produktif harus dilindungi.

Dalam situasi ekonomi yang penuh tekanan—pabrik tekstil gulung tikar, PHK meningkat—pertanian dan sawit justru menjadi penyangga ekonomi. Karena itu, merusak sumber pertumbuhan yang sudah ada, sama saja melemahkan daya tahan ekonomi nasional.

Penutup

Pertanian adalah masa depan Indonesia. Namun fondasinya harus dibangun pada tiga pilar utama yakni kesejahteraan petani yang meningkat, perlindungan lahan pertanian yang ketat, dan tata kelola sawit yang adil serta berkelanjutan.

Dengan memperkuat ketiga pilar tersebut, Indonesia dapat memastikan bahwa sektor pertanian bukan hanya bertahan, tetapi menjadi motor pertumbuhan yang tangguh dan berkelanjutan.***

Back to top button