Opini

Kontak Mata, Perlawanan dan Budaya Kecanduan Teknologi

Oleh: Andrian Saba
Forum Studi Mandiri

Dalam banyak percakapan, keberhasilan komunikasi tidak hanya bergantung pada apa yang diucapkan, tetapi pada cara kita menyampaikannya dengan penuh perhatian. Bahasa verbal atau lisan sering kali tidak cukup kuat untuk mengantarkan maksud terdalam dari sang penutur. Di sinilah bahasa tubuh, ekspresi wajah, sorot mata, hingga jarak fisik mengambil peran penting sebagai pelengkap makna. Unsur-unsur nonverbal ini memastikan pesan tersampaikan secara utuh dan tulus kepada lawan bicara. Tidak heran jika para ahli menilai bahasa nonverbal sebagai kunci penting dalam komunikasi yang efektif.

Salah satu ironi terbesar dalam era digital adalah memudarnya kontak mata. Padahal, sejak manusia pertama membangun relasi sosial, tatap muka merupakan sarana komunikasi yang paling otentik. Pepatah lama yang menyatakan bahwa mata itu jendela jiwa. Sorot mata mampu mengungkapkan emosi dan ketulusan yang tak dapat diwakili oleh kata. Ilmu neuroscience bahkan menegaskan kalau kontak mata mengaktifkan mirror neuron yang memicu empati secara alami. Inilah yang membuat tatap muka (sorot mata) menjadi dasar kepercayaan.

Siapa pun yang mengamati ruang publik hari ini akan mudah menangkap pola yang mencolok. Sebuah perjumpaan tatap muka semakin jarang, dan digantikan oleh gelagat mata yang terpaut pada layar. Pandangan yang dahulu menyambung rasa, kini kalah oleh tarikan ponsel yang terus menyalakan dorongan untuk mengecek. Tidak sedikit orang duduk mengobrol dengan kerabat, tetapi keterlibatan emosionalnya hilang karena pikirannya terhanyut pada pesan yang masuk. Percakapan pun berubah menjadi rutinitas tanpa kedekatan. Akibatnya hubungan atau ikatan batin satu sama lain mudah terkikis.

Rangkaian peristiwa yang berulang menyingkap krisis komunikasi yang merayap hingga ke inti hubungan manusia. Inovasi komunikasi berbasis teks dan emoji serta video call berkualitas tinggi terus melonjak tanpa kendali. Di sisi lain, kemampuan untuk menatap langsung, hadir sepenuh hati, dan menangkap emosi lawan bicara justru menurun tajam. Kafe, restoran, hingga meja makan keluarga kini menyuguhkan pemandangan yang sama. Orang-orang tenggelam dalam layar. Kepala menunduk, jari-jemari bekerja tanpa henti. Miris sekali.

Riset American Psychological Association pada 2022 mencatat penurunan kemampuan kontak mata pengguna smartphone hingga 34 persen dibanding dua dekade lalu. Angka ini memperlihatkan betapa rapuhnya kualitas interaksi sosial yang kita bangun sehari-hari. Sebetulnya, tatap muka bukan perkara saling melihat, tetapi soal kehadiran penuh yang menghadirkan kedalaman rasa. Dalam perjumpaan langsung, mata kita membaca bahasa tubuh yang nyaris tak terdengar, menangkap ekspresi mikro, dan menyimak nada suara yang tak mungkin tergantikan oleh medium digital. Semua unsur itu menyatu membentuk makna yang utuh. Saat unsur-unsur ini hilang, pesan rawan keliru, dan maksud yang ingin disampaikan terkadang melenceng.

Brown (2008: 261) menegaskan komunikasi verbal hanya bertumpu pada satu indra, yaitu pendengaran. Karena itu, lidah dan telinga menjadi aktor utama yang membuat interaksi kerap kaku dan serba terbatas. Di titik inilah bahasa nonverbal menunjukkan perannya. Hall (1966), Fast (1970), dan Dresser mengutip dari Brown (2008: 264) membenarkan betapa krusialnya komponen nonverbal atau nonlisan dalam merawat kelancaran komunikasi. Gerak tubuh, tatapan mata, ekspresi, dan spontanitas sering membawa pesan lebih subtil dan jujur ketimbang kata-kata. Bahkan dalam praktiknya, laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan mencolok dalam memanfaatkan bahasa nonverbal saat berinteraksi.

Perempuan kerap tampil dengan gestur yang lebih beragam dan tatapan mata yang lebih stabil. Laki-laki, sebaliknya, lebih mengandalkan postur tubuh untuk menegaskan dominasi atau kepercayaan diri. Dua pola ini berjalan berdampingan dan sama pentingnya dalam membangun komunikasi yang utuh.

Sementara itu, minimnya kontak mata dalam percakapan sering memunculkan kesan bahwa lawan bicara tak sepenuhnya hadir. Dari tatapan yang enggan bertemu itu tumbuh perasaan tak didengar dan tak dihargai. Lama-kelamaan, hubungan antarindividu kehilangan kedalaman dan mudah retak. Meskipun di media sosial seseorang itu mempunyai ribuan teman, koneksi yang sungguh bermakna tetap langka karena hilangnya kontak makna.

Dalam konteks keluarga, krisis kontak mata menciptakan jarak emosional yang terukur meskipun anggota keluarga berada dalam satu rumah. Orang tua dan anak duduk makan malam bersama, tetapi masing-masing terpaut pada dunia digital mereka sendiri. Percakapan yang bermakna tentang hari-hari mereka tergantikan dengan notifikasi yang terus berbunyi di layar. Penelitian dari Journal of Family Issues (2022) menunjukkan bahwa 67% keluarga modern mengalami defisit dalam komunikasi tatap muka. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini mengalami kesulitan dalam membaca emosi dan empati terhadap orang lain.

Kita perlu belajar untuk menempatkan gawai pada tempatnya dengan kesadaran penuh dan intensional. Gawai itu alat yang dirancang untuk memudahkan hidup, bukan tuan yang harus kita layani dengan pengabdian total. Gawai seharusnya melayani kita dan kebutuhan kita, bukan sebaliknya merenggut waktu dan perhatian yang berharga. Mengembalikan tatap muka dalam percakapan merupakan salah satu langkah pertama yang konkret. Hal ini sebagai upaya merebut kembali terkait kendali atas interaksi sosial kita.

Lalu, bagaimana caranya memulai perubahan ini secara praktis dan terukur? Dimulai dari hal-hal yang sederhana dan konsisten. Saat makan bersama dengan orang-orang yang kita cintai, letakkan semua gawai di tempat yang jauh dari jangkauan mata dan tangan. Saat mengobrol dengan teman atau keluarga, simpan gawai di dalam saku atau tas agar tidak mengganggu. Saat ada seseorang yang berbicara dengan sungguh-sungguh, tataplah matanya dengan konsentrasi penuh. Dengarkan dengan sepenuh hati, bukan hanya dengan telinga, tetapi juga dengan empati. Praktik sederhana ini, jika dilakukan konsisten akan mengubah kualitas interaksi kita secara dramatis.

Yang perlu dipahami, ini bukan seruan untuk kembali ke zaman batu atau menolak kemajuan teknologi. Bukan pula untuk meninggalkan teknologi secara total dan kembali pada hidup yang primitif. Ini menjadi seruan yang urgen untuk bijak dalam menggunakan gawai dan teknologi secara proporsional. Penulis tidak bisa mengabaikan manfaat teknologi yang telah mengubah cara kita bekerja dan berkomunikasi secara global. Namun, kita juga tidak bisa membiarkan teknologi menguasai kita sepenuhnya tanpa perlawanan.

Tantangan terbesar kita hari ini adalah kemampuan menaklukkan diri kita sendiri di tengah derasnya kecanduan teknologi. Tanpa pengendalian diri yang kuat, kita mudah menjadi target algoritma yang bekerja untuk merebut perhatian kita. Tidak ada mesin yang mampu menyelamatkan kita dari kecanduan ini. Karena hanya kesadaran dan disiplin pribadi yang bisa memutus rantainya. Generasi sekarang harus berada di barisan terdepan untuk membangun budaya yang seimbang, antara ruang digital dan ruang nyata demi masa depan generasi berikutnya.***

Related Articles

Back to top button