Menanti Kepastian Hukum Jalan Ampera Cirebon
AKSI protes warga Jalan Ampera, Cirebon, yang mendatangi Lembur Pakuan dan kemudian ke Gedung Sate adalah akumulasi dari frustrasi panjang akibat pemblokiran sertifikat rumah mereka yang sudah berlangsung 13 tahun.
Ketidakpastian hukum yang berkepanjangan ini bukan saja menggantungkan masa depan aset warga, tetapi juga menggerus rasa keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Ketika sertifikat yang sah secara administratif tidak dapat digunakan untuk menjual, mengagunkan, ataupun diwariskan, maka negara telah absen menjalankan fungsi dasarnya, memberikan kepastian hukum kepada rakyatnya.
Di sisi lain, Pemprov Jawa Barat memiliki kewajiban untuk memastikan setiap aset yang diklaim sebagai milik pemerintah memiliki dasar hukum yang valid.
Jika benar Jalan Ampera merupakan aset daerah, maka pembuktian kepemilikan harus dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan melalui mekanisme hukum yang jelas.
Pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan klaim historis atau tafsir sepihak terhadap regulasi lama. Apalagi, warga telah memegang sertifikat resmi yang diterbitkan negara dan menjadi dasar legal mereka selama puluhan tahun.
Warga Jalan Ampera tentu memiliki hak untuk menyampaikan protes dan menuntut kejelasan. Namun dalam penegakan hukum agraria, kepentingan kedua belah pihak harus diperhatikan secara proporsional.
Pemerintah daerah perlu memberikan ruang dialog yang lebih konkret dan tidak membiarkan warga berputar dari satu kantor ke kantor lain tanpa kepastian.
Aksi memakai topeng Gubernur dalam demonstrasi adalah simbol kekecewaan, tetapi juga penanda bahwa komunikasi antara pemerintah dan warganya tidak berjalan efektif.
Sengketa tanah di Jalan Ampera bukan persoalan baru. Riwayat panjang sejak 1950-an menunjukkan adanya tumpang tindih persepsi antara negara dan warga yang menetap di lahan tersebut.
Justru karena itulah, penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip keadilan, bukan hanya aspek administratif belaka. Jika Pemprov Jabar yakin memiliki dasar hukum atas aset tersebut, maka langkah hukum seharusnya ditempuh untuk menguji dan menegaskan status tanah secara objektif.
Sebaliknya, jika bukti kepemilikan pemerintah tidak kuat, maka pemblokiran sertifikat adalah tindakan yang merugikan masyarakat dan perlu segera dicabut.
Pemerintah provinsi perlu bergerak cepat dan bersikap terbuka.
Kepastian hukum bagi warga bukan hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap tata kelola aset pemerintah. Warga Jalan Ampera telah menunggu terlalu lama.
Sudah saatnya pemerintah memberikan jawaban yang sah, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, agar keadilan tidak terus tertunda.***





