Opini

Menelaah Ambruknya Gedung Ponpes Al Khoziny

Oleh: Nunung Nurhayati
Aktivis Muslimah

KABAR duka, telah datang dari Sidoarjo, Jawa Timur. Pada Senin (29/9/2025), gedung bertingkat yang berada di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny ambruk. Peristiwa ini terjadi saat para santri tengah melaksanakan shalat Ashar berjamaah di musala yang berada di lantai dasar gedung.

Peristiwa ini telah menelan sebanyak 171 orang korban. Sebanyak 104 orang di antaranya dinyatakan selamat dan 67 orang meninggal dunia, termasuk ada 8 bagian tubuh yang ditemukan di antara puing-puing bangunan. Atas tragedi ini, salah satu wali santri mendesak proses hukum yang lebih lanjut cnnindonesia.com, 8/10/2025).

Tragedi ambruknya Ponpes Al Khoziny telah meninggalkan luka dan duka yang mendalam. Bukan hanya bagi keluarga korban, namun bagi Indonesia dan dunia pendidikan. Meski tragedi ini merupakan sesuatu yang tidak diharapkan oleh semua orang, namun tak bisa hanya dipersempit pemaknaannya sebatas takdir semata. Tentu, harus adanya upaya yang maksimal yang dilakukan sebelumnya, agar tragedi memilukan ini tidak pernah terjadi.

Banyak spekulasi tentang penyebab ambruknya bangunan Ponpes Al Khoziny. Di antaranya ialah kegagalan kontruksi bangunan.

Dosen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ir Ashar Saputra ST MT PhD memperkirakan, bangunan musala yang runtuh kemungkinan besar masih berada dalam proses konstruksi, tetapi sudah digunakan untuk aktivitas lain.

Diketahui, bangunan tersebut semula memiliki satu lantai. Pembangunan terbaru meninggikan musala sampai tiga lantai. Penambahan lantai bangunan tanpa perhitungan ulang struktur, memperbesar risiko ambruknya musala (detik.com, 8/10/2025).

Tidak hanya itu, tragedi ini pun telah menunjukkan sisi buruk, jaminan fasilitas pendidikan dalam sistem sekarang. Sistem kapitalisme, meniscayakan adanya komersialisasi dan liberalisasi dalam sistem pendidikan.

Sistem pendidikan yang tanpa ditopang sistem ekonomi dan politik yang benar, sulit menghasilkan kebijakan yang benar pula.

Di sistem kapitalisme, (pesantren) institusi yang mencetak generasi para ulama, diurus setengah hati. Pembangunan pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat diserahkan kepada selain negara.

Masyarakat dipaksa untuk bahu membahu melalui infak dan sedekah demi rampungnya fasilitas madrasah. Minimnya anggaran negara menyebabkan keterbatasan biaya. Akhirnya, pembangunan berlabuh kepada hasil yang seadanya. Suatu keniscayaan, apabila insiden yang tidak diharapkan ini terjadi hari ini.

Pada dasarnya, ini merupakan buah dari sistem kapitalis. Fakta di lapangan, hal serupa tidak hanya menimpa ponpes Al Khoziny. Masih banyak kejadian dengan kasus bangunan sekolah yang ambruk di Indonesia.

Sebelumnya, telah dilaporkan beberapa bangunan sekolah ambruk seperti yang terjadi di SMKN 1 Cileungsi (Bogor), SMPN 1 Cimanggu dan SMPN 4 Simpenan (Sukabumi), SDN Majumulya (Cianjur), SMAN 1 Ciampea (Bogor), MTs 7 Pandeglang, SDN Mekarjaya 29 (Depok) dan banyak lagi lainnya (detik.com).

Berbagai tragedi ini, bukan hanya sekedar takdir ataupun “human eror” semata, melainkan transparasi kegagalan sistemik yang terjadi dibelakangnya. Sarana dan prasarana pendidikan hari ini seakan tak menjadi prioritas utama.

Padahal, berdasarkan sistem pendidikannya-lah, sebuah bangsa akan mampu sejahtera dan berjaya. Mirisnya, perhatian itu barulah menjelma ketika bencana sudah melanda bahkan hingga menelan korban jiwa.

Islam dengan aturannya yang paripurna telah membuktikan kegemilangan pada masa kejayaannya. Dalam Islam, pendidikan dipandang sebagai kebutuhan dasar, sehingga seluruh masyarakat berhak mengaksesnya dengan mudah.

Di samping itu, Islam mewajibkan pendidikan sebagaimana sabda Rasulullah; “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, menjadi tanggungjawab penuh bagi negara dalam menyediakan fasilitas pendidikan dengan standar keamanan, kenyamanan dan kualitas yang baik bagi seluruh rakyatnya.

Negara dalam sistem Islam akan memastikan kelayakan bidang pendidikan baik dari segi sarana hingga prasarana. Hal ini merupakan bentuk tanggungjawab dan sikap amanah dalam mengemban kekuasaan mengingat sabda Rasulullah Saw; “imam (Khalifah) adalah pengurus urusan rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap urusan mereka.” (HR Bukhari).

Dengannya, tanpa memandang bulu, wilayah maupun tingkatan, entah itu sekolah negeri ataupun swasta, formal maupun non formal, muslim ataupun non muslim, semua difasilitasi pendidikannya oleh negara. Bahkan, dalam Muqaddimah dustur pasal 174 dimuat aturan bahwa; “Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, …”.

Pada masa Umar bin al-Khaththab ra., bidang pendidikan pun pernah menorehkan kegemilangannya. Berpijak pada sistem Islam, Umar pernah memerintahkan untuk membangun rumah-rumah pendidikan. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya daerah-daerah yang ditaklukkan demi menunaikan hak setiap manusia memperoleh pendidikan.

Hal serupa juga terjadi pada masa Daulah Umayah. Sang Khalifah (pemimpin), pernah berupaya memperluas jangkauan pendidikan ke berbagai wilayah hingga ke perkampungan.

Hal ini merealisasikan pemerataan pendidikan. Tentu bukan sekedar wacana, melainkan berupa keseriusan lewat pembuktian yang nyata pada masanya.

Dengan ditopang oleh sistem ekonomi Islam, distribusi harta dan pemasukan negara tidak didominasi oleh pajak apalagi hutang.

Pendapatan negara diperoleh melalui berbagai pos, seperti pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos sedekah. Dari baitul mal inilah tersedia pendanaan yang berkecukupan untuk layanan publik seperti fasilitas pendidikan.

Keunggulan ini hanya akan mungkin terjadi dalam sistem kehidupan Islam.
Penerapan Islam secara menyeluruh mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat yang telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Aturan Islam yang bersumber dari Sang Pencipta, meniscayakan kesempurnaan dalam kehadirannya.

Allah SWT berfirman; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS. An-Nahl: 89).

Dalam hal ini Allah SWT pun telah menegaskan; “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (TQS. Al-Ma’idah: 3).

Lebih jauh, Allah Swt menantang; “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS. Al-Ma’idah: 50). Saatnya kembali hidup dalam naungan Islam, dalam keridhoan dan rahmat-Nya yang meliputi seluruh alam. Allahu’alam bishshowab.***

Related Articles

Back to top button