Program MBG Tak Boleh Jadi Ancaman

KASUS keracunan makanan bergizi gratis (MBG) di SMAN 1 Luragung, Kabupaten Kuningan, menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah, penyelenggara program, dan masyarakat. Sebab, di balik niat mulia untuk memenuhi gizi generasi muda, tersimpan kelalaian yang nyaris menciderai esensi dari program itu sendiri.
Ratusan siswa yang seharusnya menikmati manfaat gizi malah terkapar di ruang perawatan. Ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan cermin lemahnya sistem pengawasan dan tanggung jawab moral dalam pelaksanaan program publik.
Program MBG sejatinya dirancang untuk memastikan setiap anak Indonesia memperoleh asupan gizi yang layak. Namun, apabila pelaksanaannya abai terhadap standar kebersihan, kualitas bahan, dan keamanan pangan, maka niat baik itu bisa berubah menjadi bencana sosial.
Langkah tegas Bupati Kuningan menutup sementara dapur MBG Luragunglandeuh patut diapresiasi. Namun, tindakan reaktif semacam ini tak boleh berhenti di sanksi sementara.
Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh dapur MBG di wilayahnya, mulai dari rantai pasok bahan, proses memasak, hingga distribusi.
Di sisi lain, pemerintah provinsi bahkan pusat mesti memastikan bahwa setiap program bantuan pangan tidak hanya dinilai dari jumlah penerima, tetapi dari mutu dan keamanan produk yang disajikan.
Pengawasan tak boleh bersifat administratif, melainkan harus berbasis sistem keamanan pangan yang terukur dan berkelanjutan.
Program bergizi gratis tidak boleh menjadi proyek seremonial yang kehilangan ruh.
Ia harus tetap berpijak pada asas kemanusiaan dan kehati-hatian. Anak-anak bukan objek eksperimen kebijakan, melainkan subjek masa depan bangsa yang berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan terbaik.
Program MBG harus terus berjalan, tetapi dengan satu prinsip utama, memberi makan bukan sekadar mengenyangkan, melainkan menyehatkan dan menyelamatkan.***