Opini

Hilangnya Kreatifitas Berbasis Kearifan Lokal

Hilangnya Kreatifitas Berbasis Kearifan Lokal
Oleh: Sukanda Subrata
Penulis Lepas Cirebon

Sektor pendidikan mendapat perhatian istimewa dari pemerintah, APBN-nya saja paling besar di antara sektor lain. Idealnya, dengan anggaran yang besar, kualitas pendidikan di Indonesia harus berbanding lurus, bukan malah sebaliknya . Andai saja anggaran pendidikan tidak direcoki oleh kegiatan lain yang tidak ada atau bukan korelasinya dengan pendidikan, kita yakin kementerian bisa fokus dan optimal melaksanakan setiap kebijakannya. Kualitas pendidikan lambat laun bisa terlihat.
Selama ini banyak pihak yang merecoki kinerja kementerian yang terkait dengan pendidikan atas dasar kerjasama yang berbentuk pengadaan buku, pengembangan SDM, pengadaan barang jasa, pertukaran pelajar, pengadaan event talent dan sebagainya. Sedikit banyaknya cara-cara seperti menganggu mobilitas kementerian.

Ilustrasinya, ketika internal pendidikan sedang fokus pada suatu bidang secara bersamaan berbenturan dengan program dari kementerian lain yang menjadikan anak sebagai obyek.
Kementerian yang terkait dengan pendidikan memimiliki sistem pendidikan tersendiri dan berwenang melaksanakannya, bukan kementerian lain atau pihak lain yang seolah peduli terhadap pendidikan. Ujung-ujungnya mereka melobi tender dan membuat MOU. Lebih herannya pemerintah daerah disinyalir kurang peka terhadap masalah pendidikan, malah lebih senang membangun fisik jalan di desa-desa dan safari politik untuk memperpanjang kekuasaan.
Memang jumlah siswa yang banyak menjadi lahan empuk di mata beberapa pihak untuk memanfaatkan. Banyak program dadakan yang tiba-tiba menginterpensi regulasi yang sudah ada di kementerian. Oleh karena sudah mendapat rekomendasi dari kepala daera,h maka pihak sekolah tidak berkutik. Sebut saja program Jumat mengaji, program salat dhuha setiap hari, program satu hari satu ayat sebelum pembelajaran dan program tahfidz setelah pulang sekolah.Terutama program terakhir pengajarnya ditunjuk oleh kantor Kementerian Agama kabupaten dan diberi honorarium dari dana BOS. Pelaksanaannya seminggu dua kali dengan nominal honorarium mengalahkan guru honorer yang mengajar setiap hari dengan jumlah siswa satu kelas.
Program-program ini berawal dari program harian pondok pesantren yang fokus ke pembiasaan sehari-hari agar kelak bermanfaat ketika keluar pondok pesantren. Program- program tersebut merembet secara horizontal ke sekolah umum karena kesetaraan Sekolah Dasar dan Madratsah Ibtidaiyah. Padahal secara hirarki keduanya berbeda kementerian. Mengapa bisa terjadi, ini ada kalanya selera pemimpin daerahnya, bisa agamis, nasionalis dan sebagainya.
Masyarakat yang awam dengan pendidikan tentu menyambut baik program – program tersebut sebagai suatu kemajuan di bidang agama. Namun apakah mereka tahu dengan adanya program-program tersebut banyak hal yang dikorbankan. Di antaranya kebiasaan anak dengan orang tua yang sudah membudaya sejak lama. Anak tidak tahu proses ibunya memasak. Anak tidak tahu proses tata letak peralatan rumah, anak tidak tahu bagaimana proses kebersihan di rumah, bahkan tidak merasa memiliki rumah sendiri.Berbincang dengan orang tua pun sudah tidak ada waktu.Rutinitas yang diciptakan telah merenggut kebebasan sang anak, bahkan anak tidak menikmati dunianya sendiri.Kegiatan anak kini layaknya orang tua, beban ajar semakin berat dan menumpuk bersaing dengan waktu, bedanya anak tidak mendapatkan uang.
Kini anak kehilangan teladan dan contoh dalam hidupnnya. Anak lebih senang meneladani dan mencontoh orang lain yang belum tentu relevan dengan karakter anak. Anak itu butuh sentuhan dan keteladanan langsung dari orang tuanya.Identitas anak telah hilang.Kita lebih senang bersandar kepada identitas lain yang dianggap lebih baik.Sejujurnya orang tua merindukan suasana anak bermain dengan kreatifitasnya, tertawa lepas riang gembira.Kita orang tua merindukan duduk bersama ngelemprak ditikar sambil berbagi rasa.
Anak-anak bukanlah robot yang hidup matinya tergantung operator dan suplay listrik. Anak adalah manusia kecil yang memiliki bakat dan kemampuan secara kodrati. Anak adalah amanah yang Tuhan berikan kepada kita untuk dididik dan dibimbing dengan benar sehingga kelak menjadi manusia unggul dalam banyak hal dan yang terpenting adalah anak itu penerus keturunan kita.
Jika boleh jujur sebenarnya di balik program – program tersebut terselip misi ambisius yang menguntungkan secara finansial dan moral. Mumpung berkuasa, pemimpin membuat program siluman meski menggeser kearifan local.***

Related Articles

Back to top button