Ragam

Restorative Justice, Antara Keadilan dan Kepastian Hukum

LANGKAH Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Cirebon mencabut laporan kasus perusakan serta penjarahan Kantor DPRD patut diapresiasi sebagai upaya humanis dalam menyelesaikan konflik sosial.

Melalui pendekatan restorative justice, 28 pelaku, termasuk sejumlah mahasiswa dan anak muda, kini mendapatkan kesempatan memperbaiki kesalahan tanpa harus menjalani proses hukum panjang yang berpotensi menghancurkan masa depan mereka.

Namun, di balik niat baik ini, terdapat persoalan mendasar yang perlu dicermati. Restorative justice sejatinya merupakan konsep hukum yang menekankan pemulihan kerugian dan hubungan sosial, bukan sekadar penghentian perkara.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah lebih dulu mengakomodasi mekanisme ini bagi pelaku anak. Sementara untuk orang dewasa, praktik restorative justice belakangan diperluas melalui Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 dan kebijakan Kejaksaan RI.

Pertanyaannya, apakah restorative justice tepat diterapkan dalam kasus yang menyangkut tindak pidana serius seperti perusakan fasilitas negara? Sebab, meski ada ruang damai, tindakan anarkis tersebut jelas melanggar hukum dan merugikan masyarakat luas.

Risiko yang muncul adalah terciptanya preseden hukum bahwa perusakan fasilitas publik dapat dimaafkan hanya dengan kesepakatan damai, tanpa pertanggungjawaban hukum yang tegas.

Kita tidak menafikan bahwa sebagian pelaku masih muda, bahkan berstatus mahasiswa. Namun, restorative justice hendaknya tidak dipahami sekadar sebagai “jalan pintas” untuk menghindari jerat hukum.

Ia harus menjadi sarana mendidik, dengan tetap memastikan adanya mekanisme ganti kerugian, permintaan maaf terbuka, dan komitmen nyata agar perbuatan serupa tidak terulang.

Demokrasi memang memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat menyampaikan aspirasi. Tetapi demokrasi juga menuntut kedewasaan berdemonstrasi dengan tertib, tanpa merusak fasilitas publik yang dibangun dengan uang rakyat.

Maka, restorative justice dalam kasus ini bisa diterima sejauh benar-benar menekankan pada pemulihan, bukan sekadar penghapusan perkara. Aparat penegak hukum tetap perlu memastikan bahwa keadilan substantif tercapai, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat.

Pada akhirnya, perdamaian adalah tujuan bersama. Namun, keadilan dan kepastian hukum jangan sampai dikorbankan hanya demi jalan damai yang instan. Restorative justice harus ditempatkan dalam koridor hukum yang jelas, agar tidak menjadi tameng bagi tindakan anarkis di kemudian hari.***

Related Articles

Back to top button