Mencegah Tragedi di Tengah Euforia Demonstrasi

Oleh: Mutaqin
Pengamat Isu Ketatanegaraan
Asap mengepul, membumbung tinggi ke langit diiringi suara-suara orasi dari masa aksi yang berasal dari berbagai kelompok dan terjadi di banyak daerah di Indonesia beberapa waktu lalu. Situasi ini menyusul aksi demonstrasi berujung pada tindakan perusakan. Tercatat massa aksi membakar gedung-gedung fasilitas lembaga negara yaitu DPRD, meski juga dijumpai adanya perusakan fasilitas-fasilitas umum seperti halte, tugu, fasilitas lalu lintas dan yang lainnya. Bukan hanya di Ibu kota Jakarta namun juga meliputi makassar, medan, surabaya, Jogjakarta, tegal dan juga Cirebon. Namun satu hal yang jelas, bahwa aksi massa semakin meningkat intensitasnya merepresentasikan perasaan frustasi masyarakat Indonesia yang semakin tercekik oleh berbagai kebijakan pemerintah dan dpr.
DPR yang dengan disetujui oleh Pemerintah mendapat tunjangan baru sebesar 50 juta per bulan yang sejatinya merupakan pengalihan tunjungan dari rumah dinas ini merupakan titik awal meletusnya aksi protes di berbagai daerah yang berakhir ricuh di samping peningkatan tunjangan beras dan bensin. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa hal tersebut bukan merupakan single factor, aksi massa yang sedang berkecamuk ini tidak lain merupakan klimak dari banyak keadaan yang sampai pada titik tidak bisa ditahan lagi oleh masyarakat. Kenaikan pajak, minimnya lowongan kerja, banyak PHK di mana-mana, dan tentu saja buruknya penegakan hukum ditambah lagi kasus-kasus korupsi tiada henti yang menjangkiti Republik ini sebagai pesakitan.
Kenaikan tunjangan anggota dewan yang direspon gegap gempita dengan berjoget-joget ini sangat kontras dengan kondisi mayoritas masyarakat yang diwakilinya dan dinilai oleh banyak kalangan sebagai sikap yang tidak etis. Singkatnya kebijakan ini sangat mempertontonkan kosongnya empati para wakil rakyat ini yang gagal membaca kondisi masyarakat bawah dan hal ini bersebrangan dengan semangat dan tekad Presiden Prabowo yang menerapkan efisiensi. Ironisnya bukanya memberikan penjelasan yang setidaknya merepresentasikan bahwa masyarakat diakomodir aspirasinya, sejumlah anggota dewan yang terhormat ini justru semakin memancing emosi publik dengan pernyataan yang tidak seharusnya dikeluar secara publik oleh anggota dewan.
Tidak cukup sampai di situ, kondisi yang melahirkan gerakan aksi massa masif ini di sisi lain malah disambut dengan tindakan represif oleh aparat kepolisian yang berujung tewasnya salah satu demonstran yang berprofesi sebagai driver Ojol yang lagi dan lagi korban yang menjadi tumbalnya dari masyarakat bawah. Tragedi yang memilukan itu pada gilirannya bukan hanya memantik api namun juga menyiram bensin di atas kapas-kapas kering bagi amarah masyarakat hingga demontrasi makin meluas dan beringas adalah akibat dari respon yang tidak profesional dan over dari aparat kepolisian.
Di negara demokrasi mana pun di kolong bumi ini tidak akan tetap tenang masyarakatnya jika terjadi situasi seperti yang sedang berlaku di Indonesia sekarang. Seharusnya aspirasi masyarakat dalam bentuk demonstrasi yang merupakan cara yang sah dan dilindungi oleh konstitusi sebagai hak setiap warga negara ini diterima dan dijadikan bahan evaluasi. Karena kondisi chaos yang ada sekarang yang bisa mengarah ke dalam kondisi yang lebih buruk adalah akibat pengabaian hak-hak konstitusional warga negara dan respon tidak bijaksana setelahnya.
Meski aksi massa ini perlu kita kawal agar ruh-ruh dari demokrasi menemukan denyutnya kembali namun kita juga perlu melihat lebih jauh guna mencegah kemungkinan-kemungkinan terburuk dari perkembangan yang ada dewasa ini. Harus diakui ada tidak sedikit para kaum opportunis yang menjadikan kekacauan sekarang sebagai momentum untuk memobilisasi kepentingan politik mereka. Ada banyak para provokator yang sudah menyusup dan mencoba memecah belah konsentrasi dari tujuan awal aksi masa ini dengan fokus pada menciptakan kerusuhan yang lebih besar dan bukan pada inti tuntutan yang diamini masyarakat. Kehadiran penyusup-penyusup sebagai penumpang gelap ini jelas memperkeruh kondisi dan menjadikan semakin abu-abu spektrum dan arah dari tujuan yang menjadi dasar tuntutan.
Indikasi ini sudah terbukti dengan jelas seperti yang terjadi pada berbagai fasilitas umum seperti pembakaran halte Transjakarta, di kawasan senin, Jakarta utara yang diyakini oleh masyarakat sekitar merupakan ulah oknum provokator sebagaimana dikutip dari detik.com. Momentum demonstrasi ini harus steril dari gerakan-gerakan yang selain membawa kepentingan masyarakat luas dalam jangka panjang. Sehingga tidak dibenarkan dan merupakan kerugian yang amat besar bagi kita semua segenap tumpah darah Indoensia jika membiarkan semua kekacaun ini lebih lama lagi.
Harus ada langkah cepat dan konkret dari para pihak yang berwenang untuk mencegah situasi ini semakin tidak terkendali yang mengarah pada krisis stabilitas nasional tanpa mengabaikan hak-hak konstitusional warganya dan dengan cara-cara persuasif tentunya karena jika tidak maka akan membuka celah bagi lahirnya keadaan yang lebih mengandung potensi bahaya yakni ketika kondisi darurat militer diterapkan. Di mana penerapan keadaan darurat militer ini secara praktis pemerintahan akan diambil alih dan dikendalikan oleh kekuatan militer yang tidak menutup kemungkiBarumenjais pintu mulusnya skenario kudeta yang akan menghidupkan kembali masa-masa kelam dengan pemerintah otoriter yang militeristik Era Orde Baru.
Kita harus bersama-sama mencegah kekuatan militer mengambil alih sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang menempatkan supremasi sipil dalam kekangan kekuatan militer melalui mekanisme darurat militer , dan memastikan para tentara tetap berada di barak karena dalam era modern seperti sekarang ini banyak fakta sejarah yang lebih banyak membuktikan bahwa negara yang rezimnya berbentuk militer gagal dalam mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakatnya di bawahan rezim yang keras dan kaku serta memiliki kencendrungan mengabaikan hal asasi manusia. Kita harus belajar dari negara Myanmar dan negara-negara Junta Militer lain yang berkuasa lewat kudeta tidak ada satu pun dari mereka merupakan negara yang maju dan berhasil.
Sejarah telah memberikan lebih dari cukup pelajaran untuk kita sebagai sebuah bangsa agar tidak berjalan ke arah berbalik dari makna kedaulatan di tangan masyarakat. Meski sejatinya usia Republik ini yang menyentuh angka 80 tahun masih berjuangan meraih kemerdekaan seutuh-utuhnya. Jangan sampai momentum demokrasi yang merupakan wujud dari supremasi sipil di bawah payung demokrasi ini justru berakhir dengan saling membenturkan antar masyarakat secara vertikal serta menyisakan kerusakan-kerusakan yang berdampak panjang. ***