Ragam

Kenaikan PBB, Antara PAD dan Beban Warga

KENAIKAN Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon yang memicu kegelisahan warga merupakan pelajaran penting bagi pemerintah daerah tentang urgensi transparansi, perencanaan matang, dan komunikasi efektif dalam kebijakan publik.

Memang benar, pajak daerah adalah tulang punggung pembiayaan pembangunan. Namun, bila lonjakannya mencapai ratusan bahkan ribuan persen dalam waktu singkat, dampaknya dapat menggerus rasa keadilan dan kepercayaan publik.
Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, telah menyatakan komitmennya untuk merevisi Perda Nomor 1 Tahun 2024 bersama DPRD. Langkah ini patut diapresiasi, terlebih adanya rencana menurunkan tarif dasar PBB dari 0,5 persen menjadi maksimal 0,3 persen, bahkan mungkin 0,25 persen.

Revisi ini menunjukkan kesediaan pemerintah mendengar aspirasi rakyat dan mencari titik keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan daya tahan ekonomi masyarakat.

Meski demikian, solusi tidak cukup hanya dengan menurunkan tarif. Pemerintah perlu memastikan bahwa penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dilakukan secara bertahap, dengan mempertimbangkan kondisi riil pasar tanah, inflasi, dan kemampuan bayar warga.

Mekanisme perlindungan, seperti pemberian keringanan, diskon, atau penundaan pembayaran bagi kelompok rentan, harus menjadi bagian integral kebijakan.
Transparansi juga wajib diperkuat. Penjelasan publik tentang alasan kenaikan, dasar hukum, dan simulasi dampak pada PBB tiap wilayah akan membantu meredakan kegelisahan dan mencegah informasi simpang siur. Pemerintah perlu membangun forum komunikasi rutin dengan perwakilan warga, bukan hanya saat gejolak muncul.

Di sisi lain, masyarakat pun perlu menyadari bahwa pajak daerah, bila dikelola dengan akuntabel, kembali untuk kepentingan bersama, membangun infrastruktur, layanan publik, dan kesejahteraan kota. Namun, kepercayaan itu hanya tumbuh jika pemerintah membuktikan integritas, efektivitas penggunaan anggaran, dan keberpihakan pada warga kecil.

Kenaikan PBB di Cirebon hendaknya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pajak daerah, adil, transparan, dan terukur. Pemerintah dan warga harus bertemu di titik tengah mencapai kesepakatan yang tidak mematikan usaha atau menguras dompet rakyat, tetapi juga tetap memastikan keberlangsungan pembangunan kota.

Inilah esensi kebijakan publik yang bijak, berpihak pada rakyat, namun tidak meninggalkan kewajiban bersama membangun daerah.***

Related Articles

Back to top button