Penertiban Kawasan Makam Sunan Gunung Jati Dinilai Belum Tuntas, Dilema antara Adat, Pemda dan Kepentingan

kacenews.id-GUNUNGJATI-Upaya penertiban pengemis dan kotak amal liar di kawasan wisata religi Makam Sunan Gunung Jati Desa Astana Kecamatan Gunungjati Kabupaten Cirebon, kembali menuai sorotan.
Bukannya menemukan titik terang, langkah tersebut justru mengungkap kompleksitas persoalan yang sejak lama terpendam yakni tarik menarik antara kewenangan adat, kebijakan pemerintah dan kepentingan ekonomi informal.
Budayawan Cirebon, H. Sulama Hadi, mengkritik keras langkah penertiban yang dianggap hanya bersifat kosmetik. Ia menilai, tanpa keterlibatan serius dari pihak Keraton Kanoman yang memegang kendali budaya dan adat di kawasan makam, pengemis dan kotak amal liar akan terus kembali dan menghantui kawasan ziarah yang sakral itu.
“Percuma ditertibkan kalau tidak ada duduk bersama yang melibatkan keraton. Mereka punya otoritas budaya, tapi sering kali tak hadir dalam pertemuan-pertemuan penting yang difasilitasi pemda,” tegas Sulama, Rabu (6/8/2025).
Sulama menekankan, persoalan ini bukan sekadar soal pengemis atau kotak amal liar, tapi menyangkut citra Cirebon sebagai kota wali. Ia khawatir, pemandangan semrawut dan praktik transaksional di area makam akan mencoreng wajah spiritualitas yang seharusnya dijaga.
“Kalau setiap peziarah disuguhi pemandangan seperti itu, apa jadinya wajah Cirebon sebagai kota wali? Ini bukan sekadar soal ekonomi kecil, tapi menyangkut harga diri budaya,” ungkapnya.
Pemerintah daerah, di sisi lain, menyadari keterbatasan ruang geraknya. Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon, Abraham Mohamad, menyebut, makam Sunan Gunung Jati merupakan wilayah otoritas keraton, sehingga pemda tidak bisa serta-merta mengambil tindakan langsung.
“Ini persoalan klasik. Tapi substansi masalahnya ada pada otoritas keraton. Kalau mereka tidak membuka ruang kolaborasi, pemerintah daerah tidak bisa masuk terlalu jauh,” ujar Abraham, saat ditemui di lokasi, Rabu (7/8/2025).
Abraham juga menyoroti keberadaan kotak-kotak amal yang dikelola secara tidak transparan. Menurutnya, praktik pengelolaan kotak amal yang terkesan “bebas” justru lebih meresahkan daripada pengemis itu sendiri.
Ia bahkan menyebut, dari sembilan situs ziarah wali yang ada, Makam Sunan Gunung Jati adalah yang paling parah dalam hal praktik transaksional.
“Saya malu. Ini ziarah wali dengan transaksi paling parah. PAD dari sini pun tidak ada yang masuk ke kami. Padahal seharusnya, ini bisa jadi potensi besar wisata religi,” ungkapnya.
Ia menduga ada oknum yang bermain dalam pengelolaan kotak-kotak tersebut. “Kasihan peziarah. Jangan sampai, semua serba transaksional, bahkan saat ingin berdoa pun harus melalui kotak,” ucap Abraham, miris.
Baik Sulama maupun Abraham sama-sama menegaskan pentingnya dialog terbuka dan sinergi lintas lembaga, terutama melibatkan Keraton Kanoman, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah.
Tanpa itu, penertiban akan terus jadi siklus tahunan yang tidak pernah benar-benar menyentuh akar masalah.(Mail/Fan)