Atlet Jadi Korban

PERSETERUAN internal dalam tubuh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Cirebon kembali menjadi penghambat utama bagi keberlanjutan pembinaan prestasi atlet daerah. Dana hibah tahap ketiga senilai Rp4 miliar yang sudah disiapkan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Cirebon tak bisa dicairkan karena kisruh kepengurusan yang belum menemui titik temu.
Celakanya, lagi-lagi atlet yang jadi korban. Mereka yang seharusnya menjadi subjek utama pembangunan olahraga daerah justru tersisih akibat konflik struktural yang tak kunjung selesai. Apakah prestasi olahraga masih menjadi prioritas, atau justru sekadar pelengkap dalam pertarungan ego dan kekuasaan?
Dispora sebetulnya telah menjalankan fungsi pembinaan dengan cukup tegas, tak akan ada pencairan hibah sebelum KONI menunjukkan kepengurusan yang sah dan stabil. Ini langkah yang tepat secara regulasi, namun tetap menyisakan keprihatinan.
Jika para elite olahraga daerah tak mampu menyelesaikan konflik secara dewasa dan berorientasi pada kepentingan atlet, maka sudah waktunya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap keberlangsungan organisasi itu sendiri.
Apalagi, seperti disampaikan Plt Kepala Dispora, kepengurusan saat ini masih diisi oleh mereka yang secara resmi telah mengundurkan diri. Bagaimana mungkin lembaga publik seperti KONI dijalankan oleh sosok-sosok yang secara de jure tidak lagi memiliki kewenangan?
Situasi ini menunjukkan betapa rentannya sistem pembinaan olahraga ketika kelembagaan justru disandera oleh konflik internal. Padahal, KONI seharusnya menjadi motor penggerak semangat juang para atlet, bukan beban yang menghambat pencapaian mereka.
Maka sudah selayaknya, Pemerintah Kabupaten Cirebon melalui Dispora, bersama KONI Provinsi Jawa Barat, melakukan langkah cepat dan tegas. Apakah itu dalam bentuk restrukturisasi, mediasi terbuka, atau bahkan pembekuan sementara, semua opsi harus diletakkan di atas meja. Jangan sampai semangat para atlet runtuh karena mereka terus menjadi penonton dalam konflik yang tak mereka ciptakan.
Sudah terlalu lama olahraga menjadi korban tarik-menarik kepentingan elite lokal. Jika atlet terus dikorbankan, maka bukan hanya masa depan mereka yang dipertaruhkan, tetapi juga kredibilitas seluruh sistem pembinaan olahraga daerah.
***