Menata Arah Hidup untuk Kebaikan Dunia dan Akhirat

Oleh: Asep Firmansyah
Dosen FDK UIN Walisongo Semarang
Dalam kesibukan hidup modern yang tiada henti, banyak orang terjebak dalam rutinitas yang nyaris otomatis, yakni bangun pagi, bekerja seharian, pulang dalam kelelahan, istirahat, lalu mengulanginya keesokan hari. Tanpa disadari, waktu berjalan begitu cepat, usia bertambah, fisik mulai melemah, dan kesempatan hidup semakin menyempit. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024, rata-rata penduduk Indonesia bekerja selama lebih dari 40 jam per minggu, atau sekitar 6–8 jam per hari. Angka ini menunjukkan betapa besar porsi waktu yang tersita untuk urusan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Hal yang dikhawatirkan adalah ketika hidup hanya dihabiskan untuk mengejar kebutuhan duniawi—pekerjaan, gaji, rumah, makanan, pakaian, kendaraan, jabatan—sementara ruhani dibiarkan kosong, dan ibadah hanya menjadi pelengkap yang dikerjakan ala kadarnya, terburu-buru, bahkan sering tertinggal. Padahal, hakikat hidup bukanlah tentang seberapa sibuk kita memenuhi dunia, melainkan apakah kesibukan itu membawa kita makin dekat atau justru makin jauh dari Allah Swt.
Ironisnya, banyak orang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kesehatan demi mengejar target-target duniawi, tetapi begitu sulit meluangkan waktu untuk memperbaiki ibadah. Pelatihan sehari penuh bisa diikuti dengan semangat, proyek kantor dikerjakan hingga larut malam, dan antrean panjang demi konser atau diskon dijalani tanpa keluhan, tetapi ketika harus bangun malam untuk salat atau menyisihkan waktu membaca Al-Qur’an, terasa begitu berat. Rumah diperindah, kendaraan diperbarui, relasi sosial diperluas, tetapi iman tidak diperbaharui dan ilmu agama justru terabaikan. Jangan sampai keinginan memenuhi kebutuhan dan kenyamanan hidup justru membuat lalai beribadah kepada Sang Pemberi Kehidupan. Sebab, pada akhirnya, seluruh fasilitas dunia akan ditinggalkan, dan yang benar-benar menyertai hanyalah amal serta niat yang ikhlas.
Orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan niat karena Allah tidak akan melalaikan ibadah. Sebab, baginya pekerjaan bukan sekadar mencari nafkah atau mengejar kenyamanan dunia, tetapi bagian dari pengabdian kepada Sang Pencipta. Ia menyadari bahwa rezeki sejati datang dari Allah, sehingga waktu bekerja tidak menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban salat, mengabaikan zikir, atau menunda amal kebaikan. Justru melalui pekerjaan yang halal dan bernilai ibadah itulah, ia memperkuat rasa syukur, menjaga kejujuran, dan menegakkan amanah—nilai-nilai yang menjadikan dunia sebagai jalan menuju rida Allah, bukan penghalang darinya.
Allah Swt. dengan tegas menyampaikan dalam Al-Qur’an: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ayat ini menjadi fondasi utama untuk memahami arah hidup seorang muslim. Kita memang hidup di dunia dan membutuhkan harta, sandang, dan papan. Akan tetapi semua itu adalah sarana, bukan tujuan. Dunia hanya perantara untuk menuju akhirat. Ketika dunia dijadikan tujuan, maka yang terjadi adalah perlombaan tak berujung yang melelahkan jiwa. Kita ingin rumah lebih besar, kendaraan lebih canggih, jabatan lebih tinggi—dan lupa bahwa semua itu bersifat fana, tak pernah benar-benar memuaskan. Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia akan menginginkan dua lembah emas, dan tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah. Dan Allah menerima tobat siapa saja yang bertobat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan sifat dasar manusia yang tidak akan pernah puas terhadap dunia. Maka, siapa pun yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, ia akan selalu merasa kurang, meski dari luar tampak berkelimpahan. Dunia adalah ilusi jika dijadikan poros hidup. Inilah yang sering menjebak kita dalam kesibukan tak bernilai ibadah. Sebaliknya, siapa yang menjadikan dunia sebagai wasilah, maka aktivitas duniawinya pun bisa bernilai akhirat. Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Dunia ini hanya tiga hari: Kemarin yang telah berlalu, esok yang belum tentu kita temui, dan hari ini yang ada di tangan kita. Maka manfaatkanlah hari ini.” Ini menunjukkan pentingnya memaknai setiap hari sebagai peluang ibadah, termasuk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan tidur pun bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk menjaga kekuatan tubuh demi menjalankan ketaatan kepada Allah.
Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran: 185). Kalimat ini seharusnya menjadi alarm bagi setiap jiwa yang mulai terlelap dalam kesibukan. Kita memang memerlukan dunia untuk hidup dan di dalamnya menawarkan berbagai kesenangan serta kenikmatan. Akan tetapi, keberadaannya jangan sampai memperdaya kita dari hakikat hidup yang sebenarnya. Imam Al-Ghazali menyampaikan dengan sangat indah, “Jadikanlah dunia di tanganmu, bukan di hatimu. Karena jika dunia berada di hatimu, ia akan merusak niat dan amalmu.” Dunia yang berada di tangan bisa dikendalikan. Tapi jika sudah menetap di hati, ia akan menyesatkan. Bukan berarti dunia harus kita tinggalkan. Justru Islam mendorong umatnya untuk tetap aktif, produktif, dan berdaya dalam kehidupan. Islam tidak mengajarkan kemalasan, bahkan menekankan pentingnya bekerja keras, menuntut ilmu, dan membangun peradaban. Namun, segala aktivitas harus disandarkan pada niat yang benar dan tidak melalaikan kita dari ibadah. Kita bekerja karena Allah, kita belajar karena Allah, kita berkeluarga karena Allah. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ketika orientasi hidup sudah lurus karena Allah, maka kebaikan dunia dan akhirat akan sama-sama kita raih. Sebaliknya, jika orientasi hidup hanya dunia, maka akhirat akan terabaikan dan hidup kehilangan ruh serta tujuan hakikinya; yang tersisa hanyalah kesibukan tanpa makna, pencapaian tanpa keberkahan, dan lelah yang tak bernilai di sisi Tuhan. Maka, renungkanlah: sudahkah pekerjaan kita membuat kita lebih dekat kepada Allah? Sudahkah kesibukan kita bernilai ibadah?
Kita boleh memiliki cita-cita dunia, tetapi jangan sampai melupakan cita-cita utama, yakni meraih kebahagiaan di akhirat. Kita boleh menjadi profesional, pejabat, atau pengusaha, tetapi jangan lupa bahwa kita adalah hamba, dan tugas seorang hamba bukan semata-mata bekerja, melainkan menyembah dan tunduk kepada Sang Pencipta. Mari kembalikan arah hidup kepada fitrahnya: menjadikan setiap aktivitas dunia sebagai ibadah. Dengan cara itulah kita dapat menjalani kehidupan yang benar-benar seimbang, meraih kebahagiaan di dunia, lebih-lebih kebahagiaan hidup yang abadi kelak di akhirat.***