Finansial

Hama Mengganas, Petani Gegesik Terancam Gagal Panen

kacenews.id-CIREBON-MUSIM panen di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, berubah menjadi mimpi buruk. Tak hanya petani yang menderita akibat serangan hama dan anjloknya harga gabah, namun pabrik penggilingan pun lumpuh, dan buruh kehilangan penghasilan. Krisis ini tak ubahnya domino yang meruntuhkan satu per satu elemen dalam rantai produksi pertanian.

Ketua Forum Rembug Tani Ciayumajakuning, Dedi Abas menyebut, panen kali ini mencatat kerugian besar. Banyak petani kehilangan hingga 70 persen dari modal tanam mereka, dengan serangan hama, rendahnya harga jual, dan tingginya biaya produksi sebagai penyebab utama.

“Rata-rata petani rugi antara 50 sampai 70 persen. Hama menyerang parah, harga gabah rendah, sementara biaya operasional makin tinggi,” ungkap Dedi, Rabu (23/7/2025).

Sebagian besar petani di Gegesik menggantungkan pembiayaan tanam pada skema Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan panen yang gagal, bayang-bayang kredit macet pun tak terhindarkan. Menurut Dedi, ini bisa berakibat jangka panjang pada keberlangsungan pertanian lokal.

“Mayoritas petani pakai KUR. Kalau panennya gagal, tentu kreditnya juga bermasalah. Kami minta pemerintah beri keringanan atau restrukturisasi pinjaman,” katanya.

Selain hasil panen yang merosot, petani juga terjepit oleh dugaan permainan harga sewa alat panen. Aktivis pertanian Desa Jagapura, Aksol Amri mengungkapkan, penyewaan mesin panen (komben) tidak bisa diakses langsung oleh petani, tetapi harus lewat perantara yang menaikkan harga secara tidak wajar.

“Sewa komben untuk satu bau (7.000 meter persegi) seharusnya Rp 1,2 juta plus biaya karung Rp200 ribu. Tapi di lapangan bisa sampai Rp2,2 juta. Katanya ada tambahan untuk perbaikan jalan, tapi faktanya tak ada bukti perbaikannya,” ujar Aksol.

Ia mendesak pemerintah daerah segera menertibkan praktik-praktik tersebut agar petani tidak semakin tertindas oleh permainan rente di sektor alat panen.

Krisis di sisi hulu pertanian menjalar ke sektor hilir. Surnita Sandi Wiranata, pemilik pabrik penggilingan di Desa Gegesik Lor, mengaku telah menghentikan operasional sejak awal Juli 2025 karena kelangkaan gabah.

“Gabahnya tidak ada. Panen banyak yang gagal. Harga gabah juga terlalu tinggi, sampai Rp6.500 per kilogram. Kalau kami beli segitu, produksi tidak tertutup,” ujarnya.

Akibatnya, puluhan buruh penggilingan kehilangan pekerjaan. Rojani, salah satu buruh, mengaku tidak memiliki pemasukan sejak pabrik tutup.

“Sudah dua minggu kami tidak kerja. Gabah mahal, pabrik off. Kami jadi korban kedua setelah petani,” keluhnya.

Sandi sendiri kini mempertimbangkan untuk membeli gabah dari luar daerah, seperti Jawa Tengah, meskipun biaya akan lebih mahal.

“Kami berharap pemerintah membantu menstabilkan harga gabah dan mendukung penggilingan kecil agar tetap hidup,” tambahnya.

Krisis ini dinilai menjadi problem pertanian yang tak hanya soal hasil panen. Ketika hulu (petani) bermasalah, hilir (penggilingan dan buruh) ikut tumbang.

Saat akses alat panen dimonopoli dan pembiayaan gagal bayar, pertanian rakyat menjadi rapuh. Situasi ini membutuhkan intervensi kebijakan yang cepat dan terintegrasi dari pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun pusat.(Ismail/KC)
, Petani dan Pabrik Penggilingan Tumbang Bersamaan

Ismail-Kabar Cirebon

kacenews.id-CIREBON-MUSIM panen di Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon, berubah menjadi mimpi buruk. Tak hanya petani yang menderita akibat serangan hama dan anjloknya harga gabah, namun pabrik penggilingan pun lumpuh, dan buruh kehilangan penghasilan. Krisis ini tak ubahnya domino yang meruntuhkan satu per satu elemen dalam rantai produksi pertanian.

Ketua Forum Rembug Tani Ciayumajakuning, Dedi Abas menyebut, panen kali ini mencatat kerugian besar. Banyak petani kehilangan hingga 70 persen dari modal tanam mereka, dengan serangan hama, rendahnya harga jual, dan tingginya biaya produksi sebagai penyebab utama.

“Rata-rata petani rugi antara 50 sampai 70 persen. Hama menyerang parah, harga gabah rendah, sementara biaya operasional makin tinggi,” ungkap Dedi, Rabu (23/7/2025).

Sebagian besar petani di Gegesik menggantungkan pembiayaan tanam pada skema Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan panen yang gagal, bayang-bayang kredit macet pun tak terhindarkan. Menurut Dedi, ini bisa berakibat jangka panjang pada keberlangsungan pertanian lokal.

“Mayoritas petani pakai KUR. Kalau panennya gagal, tentu kreditnya juga bermasalah. Kami minta pemerintah beri keringanan atau restrukturisasi pinjaman,” katanya.

Selain hasil panen yang merosot, petani juga terjepit oleh dugaan permainan harga sewa alat panen. Aktivis pertanian Desa Jagapura, Aksol Amri mengungkapkan, penyewaan mesin panen (komben) tidak bisa diakses langsung oleh petani, tetapi harus lewat perantara yang menaikkan harga secara tidak wajar.

“Sewa komben untuk satu bau (7.000 meter persegi) seharusnya Rp 1,2 juta plus biaya karung Rp200 ribu. Tapi di lapangan bisa sampai Rp2,2 juta. Katanya ada tambahan untuk perbaikan jalan, tapi faktanya tak ada bukti perbaikannya,” ujar Aksol.

Ia mendesak pemerintah daerah segera menertibkan praktik-praktik tersebut agar petani tidak semakin tertindas oleh permainan rente di sektor alat panen.

Krisis di sisi hulu pertanian menjalar ke sektor hilir. Surnita Sandi Wiranata, pemilik pabrik penggilingan di Desa Gegesik Lor, mengaku telah menghentikan operasional sejak awal Juli 2025 karena kelangkaan gabah.

“Gabahnya tidak ada. Panen banyak yang gagal. Harga gabah juga terlalu tinggi, sampai Rp6.500 per kilogram. Kalau kami beli segitu, produksi tidak tertutup,” ujarnya.

Akibatnya, puluhan buruh penggilingan kehilangan pekerjaan. Rojani, salah satu buruh, mengaku tidak memiliki pemasukan sejak pabrik tutup.

“Sudah dua minggu kami tidak kerja. Gabah mahal, pabrik off. Kami jadi korban kedua setelah petani,” keluhnya.

Sandi sendiri kini mempertimbangkan untuk membeli gabah dari luar daerah, seperti Jawa Tengah, meskipun biaya akan lebih mahal.

“Kami berharap pemerintah membantu menstabilkan harga gabah dan mendukung penggilingan kecil agar tetap hidup,” tambahnya.

Krisis ini dinilai menjadi problem pertanian yang tak hanya soal hasil panen. Ketika hulu (petani) bermasalah, hilir (penggilingan dan buruh) ikut tumbang.

Saat akses alat panen dimonopoli dan pembiayaan gagal bayar, pertanian rakyat menjadi rapuh. Situasi ini membutuhkan intervensi kebijakan yang cepat dan terintegrasi dari pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun pusat.(Mail)

Related Articles

Back to top button