Ragam

Janji Politik

SATU kata bisa menyulut tawa, amarah, hingga gerakan sosial. “Juli”—kata singkat yang dilontarkan Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, kini bergema luas di jagat maya, bukan sebagai solusi, melainkan simbol frustrasi.

Ungkapan yang semestinya menenangkan, justru memicu kemarahan kolektif. Frasa itu tak hanya gagal meredam kegelisahan warga terkait rusaknya ruas jalan Gebang–Pabuaran, melainkan memantulkan ketidakpekaan wakil rakyat terhadap penderitaan masyarakat.

Respons publik terhadap pernyataan “Juli” menjadi penanda penting dalam relasi antara warga dan pejabat. Bukan soal jalannya semata, tapi kepercayaan yang makin keropos.

Media sosial kini menjadi panggung perlawanan baru, tempat warga membingkai satire sebagai bahasa kritik dan menyulap satu kata menjadi slogan protes yang menohok.

“Juli Juli Juli, Duite kudu proses, lelang dikit”.
Kasus ini menyingkap dua persoalan utama. Pertama, krisis komunikasi publik dari para pejabat.

Perkataan yang diucapkan di ruang publik bukan lagi hanya didengar oleh segelintir orang, melainkan disebar, dianalisis, bahkan disalahtafsirkan dalam sekejap.

Ketika kata-kata disampaikan tanpa konteks, kejelasan, atau empati, bukan solusi yang sampai ke masyarakat, melainkan bara api baru dalam bara ketidakpuasan.

Kedua, masalah akuntabilitas.

Warga sudah terlalu sering dijanjikan, namun tak kunjung melihat perubahan nyata. Mereka yang setiap tahun membayar pajak berharap setidaknya dapat infrastruktur yang layak.

Ketika itu pun gagal dipenuhi, wajar jika masyarakat mulai mempertanyakan integritas para wakilnya—dan dalam beberapa kasus, bahkan memilih untuk tidak memilih lagi.

Pemerintah dan para wakil rakyat tak bisa lagi meremehkan kekuatan satu kata. Di era digital ini, satu pernyataan bisa menjadi pemantik perlawanan. Maka dibutuhkan ketegasan, kejujuran, dan keseriusan dalam setiap janji publik.

Terlebih, ketika menyangkut kebutuhan dasar masyarakat seperti akses jalan yang aman dan nyaman.

Kini, saat “Juli” telah menjelma jadi sindiran, tanggung jawab ada di tangan pemerintah.

Bukan sekadar memperbaiki jalan, tapi memulihkan kepercayaan. Bukan dengan kata, tapi dengan kerja nyata. Karena yang diharapkan rakyat bukan “nanti”, tetapi “sekarang”—bukan “Juli”, tetapi “bukti”.
***

Related Articles

Back to top button