Ujian RSUD

RUMAH Sakit Umum Daerah (RSUD) Arjawinangun menghadapi situasi yang kian pelik. Di tengah gempuran persaingan tidak sehat dari belasan rumah sakit swasta di sekitarnya, rumah sakit milik pemerintah ini terancam kehilangan peran vitalnya sebagai benteng terakhir pelayanan kesehatan publik di Kabupaten Cirebon.
Pernyataan Bupati Cirebon, H. Imron, yang menekankan pentingnya kreativitas dan kejelian manajemen rumah sakit dalam membaca akar persoalan, memang patut diapresiasi. Namun, tanggung jawab penyelamatan RSUD Arjawinangun tidak cukup hanya diserahkan kepada “pemain di lapangan” saja, tanpa strategi dan kebijakan sistemik dari “manajer tim” yaitu pemerintah daerah.
Direktur RSUD Arjawinangun, dr. H. Bambang Sumardi, secara terbuka mengungkap realitas keras yang dihadapi: praktik pemberian fee oleh rumah sakit swasta kepada pengantar pasien, tekanan menghasilkan PAD, hingga ketimpangan dalam aturan main. Ia juga menyoroti tidak seimbangnya distribusi rumah sakit di wilayah barat Cirebon, yang berujung pada persaingan yang tidak lagi sehat, tetapi cenderung predatoris.
Di sinilah letak persoalan struktural yang mendesak untuk dibenahi. Pertama, perlu keberanian Pemkab Cirebon untuk menetapkan regulasi yang melindungi rumah sakit publik dari praktik komersialisasi pelayanan kesehatan yang menjurus ke arah mafia rujukan pasien. Pemerintah tidak bisa menutup mata ketika rumah sakit swasta bisa “bermain bebas”, sementara RSUD dibelenggu oleh birokrasi dan etika layanan publik.
Kedua, penataan ulang tata ruang dan distribusi izin pendirian rumah sakit swasta menjadi kebutuhan mutlak. Harus ada moratorium sementara pemberian izin baru di wilayah yang sudah jenuh. Prinsip pelayanan kesehatan harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat, bukan kompetisi pasar bebas ala industri.
Ketiga, perlu revitalisasi menyeluruh terhadap RSUD Arjawinangun—baik dari sisi pelayanan, SDM, hingga sarana prasarana. Kepercayaan masyarakat tidak bisa dibangun hanya dengan slogan atau imbauan. Ia hanya tumbuh jika rumah sakit ini benar-benar mampu menunjukkan pelayanan yang profesional, manusiawi, dan setara bahkan lebih unggul dari rumah sakit swasta.
RSUD Arjawinangun bukan sekadar institusi pelayanan, tetapi representasi tanggung jawab negara dalam menjamin hak kesehatan warganya. Jika rumah sakit publik kalah dalam arena yang tidak adil, yang dirugikan bukan hanya institusi, melainkan masyarakat kecil yang tidak memiliki pilihan selain rumah sakit pemerintah.
Pemerintah Kabupaten Cirebon tidak bisa hanya menjadi penonton dalam pertandingan yang sudah jelas timpang ini. Sebuah rumah sakit daerah tidak bisa diselamatkan dengan motivasi belaka—ia butuh intervensi nyata, keberpihakan kebijakan, dan perlindungan politik anggaran.
Jika tidak, kita hanya tinggal menunggu waktu: RSUD Arjawinangun akan benar-benar tumbang, bukan karena tak kompeten, tetapi karena dibiarkan berperang tanpa perisai.*