Dunia di Ujung Tanduk

SERANGAN Amerika Serikat ke Iran pada Minggu, 22 Juni 2025 menandai babak baru dalam sejarah modern yang lebih menyerupai kengerian masa lalu daripada peradaban masa depan. Dengan dalih membela sekutu lamanya—Israel—dan mencegah ancaman nuklir Iran, AS kembali melangkah gegabah, membuka pintu bagi konflik global yang dampaknya bisa jauh melampaui kawasan Timur Tengah.
Tindakan militer yang dilakukan tanpa restu Kongres memperlihatkan bagaimana kekuasaan eksekutif di Washington kini menjelma menjadi mesin unilateral yang semakin menjauh dari prinsip demokrasi. Dalam satu pidato, Presiden Donald Trump menyatakan bahwa fasilitas nuklir Iran telah “hancur total”, seakan kehancuran itu adalah bentuk kemenangan, bukan awal dari penderitaan baru yang jauh lebih luas.
Respons Iran pun tidak main-main. Peringatan keras dari pejabat tinggi Iran, serta seruan kepada Dewan Keamanan PBB, adalah tanda bahwa dunia internasional tak lagi bisa duduk diam. Saat Rusia secara terbuka menyatakan bahwa Perang Dunia Ketiga telah dimulai, kita tidak hanya dihadapkan pada retorika diplomatik, melainkan pada realitas mengerikan dari sistem internasional yang gagal mencegah eskalasi.
Ketegangan antara Israel dan Iran memang bukan hal baru. Namun yang membuat situasi kali ini lebih berbahaya adalah keterlibatan langsung kekuatan besar dunia—AS, Rusia, dan berpotensi China serta Korea Utara. Dunia menyaksikan kembali logika blok politik ala Perang Dingin, namun kini dalam kondisi yang jauh lebih cair, kompleks, dan tidak dapat diprediksi.
Langkah Trump, yang dipuji oleh PM Israel Benjamin Netanyahu sebagai “berani” dan “mengubah sejarah”, justru bisa jadi kesalahan strategis paling fatal dalam sejarah geopolitik abad ke-21. Sejarah memang berubah, namun bukan menuju damai, melainkan ke jurang konflik berskala global.
Kita juga harus mencermati implikasi lebih luasnya. Ketika AS disibukkan oleh konflik besar di Timur Tengah, peluang terbuka lebar bagi Rusia memperluas invasi di Eropa Timur, atau bagi China untuk menginvasi Taiwan. Dunia bisa menghadapi situasi di mana konflik menyebar ke beberapa titik api sekaligus, menjadikan diplomasi mustahil, dan menjatuhkan tatanan global ke dalam kekacauan total.
Pernyataan Jenderal Apti Alaudinov dan analisis Anthony Glees menyiratkan satu hal penting, saat ini dunia sedang berjalan di atas tali rapuh yang bisa putus kapan saja. Eskalasi sudah terjadi, tetapi belum terlambat untuk de-eskalasi.
PBB dan kekuatan diplomatik dunia harus bertindak—bukan hanya dengan pernyataan, tetapi dengan tekanan konkret untuk menghentikan kekerasan dan memulihkan mekanisme perdamaian.
Tanggung jawab moral dan politik tidak hanya berada di pundak AS dan Iran, tetapi pada seluruh komunitas internasional. Dunia tidak membutuhkan pemimpin yang “berani menyerang”, melainkan yang berani menahan diri dan memilih dialog.
Karena jika diplomasi gagal lagi, sejarah tidak hanya akan mencatat pecahnya Perang Dunia Ketiga. Ia akan mengutuk kegagalan kolektif umat manusia untuk belajar dari sejarah.***